Jelajahi keseimbangan hukum Islam & HAM di Indonesia tahun 2025—temukan solusi syariah dan cara baru menjaga hak asasi di era digital, lengkap data & insight!
Pendahuluan
Isu keseimbangan antara hukum Islam dan hak asasi manusia (HAM) semakin krusial di Indonesia tahun 2025. Di tengah pesatnya perkembangan digital dan transformasi sosial, perdebatan soal syariah, HAM, dan teknologi muncul ke permukaan: apakah nilai syariah dan hak asasi manusia bisa benar-benar berjalan beriringan? Data terbaru YLBHI dan Komnas HAM mencatat lonjakan kasus pelanggaran hak asasi—mulai dari masalah privasi digital, diskriminasi gender, hingga kebebasan beragama—mendorong perlunya solusi baru yang relevan dengan budaya dan keagamaan bangsa. Artikel ini menyajikan solusi praktis berdasarkan prinsip maqashid syariah, insight kontemporer, dan strategi menjaga keseimbangan hukum Islam-HAM di era digital hari ini.

Dasar Teologis: Keseimbangan Syariah & HAM
Maqashid syariah—tujuan utama hukum Islam—berperan penting dalam perlindungan lima hak pokok: agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-mal). Prinsip ini sejajar dengan pilar HAM universal seperti kebebasan beragama, hak hidup, pendidikan, hak membangun keluarga, dan hak atas kepemilikan.
Beberapa ayat kunci menegaskan pentingnya keadilan dan perlindungan hak asasi, di antaranya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (An-Nahl: 90)
“Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia semuanya…” (Al-Maidah: 32)
Meski pendekatan Islam bersifat teosentris (hak berasal dari Allah & mengutamakan tanggung jawab sosial), pada dasarnya banyak nilai universal yang bersinergi dengan HAM modern.
Regulasi & Kebijakan di Indonesia
Perlindungan HAM di Indonesia diatur UUD 1945, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta fatwa dan pedoman syariah dari MUI bagi masyarakat Muslim. Di wilayah-wilayah tertentu (seperti Aceh), berlaku hukum syariah lokal yang menambah dinamika interpretasi HAM, misalnya pada isu kebebasan beragama, gender, dan pidana.
Tantangan sering muncul saat HAM universal dianggap berbenturan dengan syariah. Namun, pendekatan moderasi beragama dari MUI dan akademisi Islam menegaskan pentingnya integrasi dua prinsip ini agar tetap relevan dan membangun keadilan sosial yang inklusif bagi semua kalangan.
Studi Kasus Aktual 2024-2025
Data YLBHI tahun 2024 mencatat lebih dari 100 kebijakan nasional terkait digital dan sosial diduga melanggar HAM—mulai dari kebebasan berekspresi online, diskriminasi minoritas, hingga pelanggaran privasi.
Di Aceh, pelaksanaan syariah kadang menimbulkan perdebatan terkait hak perempuan dan kelompok minoritas. Perlindungan data pribadi semakin relevan sebagai bagian dari hifdz al-‘aql (perlindungan akal/nalar) pada era digital.
Langkah positif datang dari program moderasi beragama MUI 2025 yang mendorong ijtihad baru: menyesuaikan penerapan syariah agar melindungi semua hak tanpa diskriminasi, sesuai maqashid syariah dan kebutuhan zaman.

Keseimbangan Baru di Era Digital
Di era digital, perlindungan HAM diperluas pada isu privasi, keamanan data, dan ekspresi daring. Maqashid syariah sangat kompatibel untuk dijadikan acuan regulasi perlindungan data, kebijakan kecerdasan buatan (AI), dan etika digital.
Etika AI berbasis maqashid misalnya, berfungsi menjaga data pribadi, melindungi anak-anak dari kejahatan siber, serta menyeimbangkan hak individu dan kepentingan kolektif.
Beberapa rekomendasi terbaik:
- Peraturan perlindungan data berbasis prinsip hifdz al-‘aql dan hifdz al-mal
- Fatwa MUI sebagai landasan etika digital untuk komunitas Muslim
- Literasi HAM dan syariah diintegrasikan dalam pendidikan digital anak muda
Content Gap & Insight Baru
Mayoritas artikel kompetitor membahas teori dan hukum dasar, tapi jarang masuk ke aplikasi syariah-HAM secara digital (cyber-HAM), kebijakan inovatif, serta studi kasus 2024-2025.
Jarang juga yang menyoroti ekonomi syariah digital, advokasi hak perempuan dalam ekosistem syariah, atau insight ulama muda dan aktivis perempuan NU tentang kebebasan digital.
Insight baru:
- Ekonomi syariah dan digitalisasi membawa peluang memperkuat HAM
- Perlu advokasi kolaboratif antara ormas, akademisi, dan praktisi syariah untuk solusi HAM modern
- Keterlibatan masyarakat lokal—seperti di Sidoarjo dan Jawa Timur—dapat memperkuat advokasi dari akar rumput
Rekomendasi Praktis & Penutup
Langkah-langkah actionable:
- Dukung kebijakan syariah-HAM berbasis data empiris terbaru
- Aktif dalam literasi digital dan advokasi hak asasi manusia
- Dorong dialog lintas ormas, lintas agama, dan komunitas digital
Bagikan pendapat Anda di komentar: Menurut Anda, bagaimana cara terbaik menyatukan syariah dan HAM di era digital? Baca juga artikel lain terkait dakwah digital & moderasi agama di situs ini!
Penutup:
Menjaga keseimbangan hukum Islam dan HAM bukan sekadar wacana, melainkan usaha nyata membangun masyarakat Indonesia yang adil, damai, dan sejahtera—sesuai tuntunan syariah dan prinsip hak asasi modern, terlebih di tahun 2025 yang penuh tantangan baru.











