Ketika Industri Memutuskan untuk Membakar Uang dengan Gaya
AI Bubble,Industri artificial intelligence telah baru-baru ini menghitung berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk menjadi tidak profitable: 2 triliun dollar per tahun.
Itu bukan typo. Dua triliun. Setiap tahun.
Analis mengatakan bahwa untuk infrastructure, data centers, computing power, dan genius engineers yang perlu dikembangkan untuk membuat AI benar-benar revolutionary—industri ini akan membutuhkan revenue tahunan sebesar 2 triliun dollar. Bukan profit. Revenue. Itu berarti jika seluruh dunia menggunakan AI untuk semua hal dan membayar maksimal untuk itu, industri ini mungkin break even di dekade berikutnya.
Dan di sini letak ironi yang sempurna: perusahaan tech sudah menginvestasikan miliaran dollar ke dalam AI dengan asumsi bahwa ini akan membuat mereka kaya. Investor melompat dengan antusiasme yang sama seperti orang-orang yang membeli tulip di 1637. Hanya kali ini, bunga imajiner itu bernama “artificial general intelligence” dan keindahannya tidak terletak di warna kelopaknya, tetapi pada kemampuannya yang mungkin tidak akan pernah terwujud.
Mari kita bicara tentang bubble terbesar dalam sejarah ekonomi modern—sebuah bubble yang begitu besar sehingga orang-orang tidak menyadari mereka sedang di dalamnya sampai itu meledak di wajah mereka.
Bagian 1: Sejarah Bubble Tech—Dari Dot-Com Bliss Hingga AI-Com Delusion
Untuk memahami bubble AI saat ini, kita perlu kembali ke masa lalu. Dan tidak jauh-jauh ke belakang.
The Dot-Com Bubble (1995-2000) adalah ketika internet pertama kali menciptakan hysteria investasi. Perusahaan dengan nama domain yang bagus tapi business model yang tidak jelas ditanam dengan uang investor sebanyak kacang goreng di petakan bunga. “Pets.com” adalah simbol sempurna: website yang menjual makanan hewan peliharaan dengan biaya pengiriman yang tidak pernah membuat sense. Mereka mengeluarkan 35 juta dollar untuk Super Bowl ad sambil sedang bangkrut. Ketika bubble pecah, 78% dari total market capitalization hilang dalam dua tahun.
The Social Media Boom (2004-sekarang) mengajarkan kami pelajaran yang berbeda: bahkan jika business model Anda tidak masuk akal di awal, jika Anda bisa mendapatkan enough users, eventually Anda bisa memonetisasi. Facebook tidak menguntungkan selama bertahun-tahun. Sekarang mereka adalah salah satu perusahaan termahal di dunia. Pelajaran yang dipelajari: growth at all cost, profit later (atau tidak sama sekali, asal volume user besar).
The Crypto Boom (2016-2021) mengajarkan kami pelajaran paling berbahaya dari semuanya: jika Anda bisa membuat suatu yang cukup complicated sehingga tidak ada yang benar-benar mengerti bagaimana cara kerjanya, Anda bisa membuat orang mencurahkan uang unlimited ke dalamnya. Orang-orang berinvestasi dalam cryptocurrency tanpa understanding bagaimana blockchain bekerja. Mereka hanya tahu bahwa “blockchain = masa depan” dan “masa depan = profit.”
Sekarang, tahun 2025, kami memiliki The AI Bubble. Dan ini adalah kombinasi sempurna dari ketiga bubble sebelumnya.
Ini memiliki ketidakjelasan business model dari Dot-Com.
Ini memiliki “grow first, profit later” mentality dari Social Media.
Dan ini memiliki “nobody really understands it” mystique dari Crypto.
Ini adalah bubble yang sempurna. Ini adalah convergence dari setiap mistake yang pernah dipelajari industri tech—dan semuanya terjadi pada waktu yang bersamaan, dalam skala yang lebih besar.

Bagian 2: Mengapa Ini Berbeda (Spoiler: Tidak, Sebenarnya Tidak)
Setiap bubble tech memiliki defender yang mengatakan: “Tapi kali ini berbeda.”
Ketika Dot-Com sedang meledak, orang bilang: “Tapi ini adalah internet! Revolutionary! Totally berbeda dari tulip mania!”
Ketika Social Media sedang berkembang dengan valuation yang tidak masuk akal, orang bilang: “Tapi ini adalah network effects! Data adalah uang baru! Totally berbeda dari bubble lainnya!”
Ketika Crypto sedang di peak-nya, orang bilang: “Tapi ini adalah teknologi blockchain! Tidak ada yang bisa dilakukan! Totally berbeda dari speculative asset class!”
Sekarang, dengan AI, mereka mengatakan: “Tapi ini adalah artificial general intelligence! Ini akan mengubah semua hal! Totally berbeda dari semua bubble sebelumnya!”
Dan mereka semua benar dalam satu hal: teknologinya berbeda. Dot-Com membawa internet, Social Media membawa networking, Crypto membawa blockchain. AI membawa… well, AI.
Tapi struktur dari spekulasinya? Itu persis sama.
The Pattern:
- Teknologi baru yang bisa mengubah dunia
- Entrepreneur dan investor yang extremely bullish
- Valuations yang tidak masuk akal dibandingkan dengan revenue sekarang
- “But this time is different” mentality
- Bubble yang membesar sampai tidak bisa lagi membesar
- Pop
Satu-satunya perbedaan adalah magnitudo. Dot-Com bubble cost ekonomi global sekitar 5 trillion dollar (dalam valuasi). AI bubble memiliki potensi untuk lebih besar karena setiap perusahaan tech besar sedang investing dalam AI secara simultaneously. Kita tidak sedang berbicara tentang beberapa startup yang overvalued. Kita sedang berbicara tentang Microsoft, Google, Amazon, Meta, Apple, semuanya sedang investing miliaran dalam infrastructure AI yang mungkin tidak akan pernah generate return.
Jadi ya, ini berbeda. Ini lebih besar. Dan itu membuat lebih berbahaya.
Bagian 3: ROI Nol Persen—Matematika yang Terlalu Sempurna
Sekarang kita sampai ke parte yang paling lucu dari semua ini: the economics.
Penelitian dari MIT baru-baru ini menemukan bahwa 95% dari organisasi yang mengimplementasikan AI tools tidak melihat return on investment yang signifikan. Sebagian besar menemukan bahwa AI menghemat time di satu area tapi menciptakan pekerjaan baru (atau pekerjaan yang lebih rumit) di area lain.
Tapi itu tidak menghentikan investment. Sebaliknya, itu mempercepat investment.
Logika dari investor tampaknya adalah: “Jika 95% dari AI implementation tidak menghasilkan ROI, bayangkan apa yang akan terjadi ketika akhirnya 5% dari mereka do generate ROI?”
Ini adalah logic yang sama yang digunakan orang dalam gambling: “Saya sudah kehilangan 95 ribu dollar, tapi ketika saya finally win, itu akan lebih dari mengimbangi semuanya!”
Perbedaannya adalah: dalam gambling, setidaknya Anda tahu Anda sedang gambling. Dalam corporate America, mereka call itu “strategic investment in future technologies” dan tax-deductible.
Berikut adalah beautiful irony dalam economics dari AI bubble:
Semakin besar investasi dalam AI infrastructure, semakin besar debt yang harus dikamulkan. Semakin besar debt, semakin menekan pressure untuk find ROI. Semakin besar pressure, semakin desperate the solutions. Semakin desperate the solutions, semakin likely mereka tidak sustainable.
Ini adalah vicious cycle yang sempurna. Dan everyone yang invested besar dalam AI infrastructure sekarang trapped dalam cycle ini. Mereka tidak bisa stop investing karena mereka sudah invested. Mereka tidak bisa admit that AI tidak akan generate ROI karena itu akan crash stock price. Jadi mereka continue investing, hope that eventually something will work out.
Dan yang paling ironis? The companies yang paling invested dalam AI adalah companies yang paling likely to collapse jika AI bubble pecah.
Bagian 4: Ketika Visioner Bermain Poker dengan Uang Investor

Di puncak dari setiap bubble adalah visioner—orang yang benar-benar percaya pada visi mereka dan bisa convince investor bahwa visi itu adalah realitas.
Steve Jobs adalah visioner dari era personal computer.
Mark Zuckerberg adalah visioner dari era social network.
Satoshi Nakamoto (misterius) adalah visioner dari era crypto.
Sam Altman adalah visioner dari era AI.
Dan seperti semua visioner sebelumnya, Altman memiliki ability yang luar biasa untuk make the impossible sound inevitable. Ketika dia bicara tentang artificial general intelligence, dia tidak membicarakan tentang mungkin-mungkin di 2050. Dia membicarakan tentang hal yang akan happen soon. Sangat soon. Mungkin tahun depan. Atau tahun depan yang mungkin. Atau tahun depan yang sangat jauh.
Keajaiban dari visioneers adalah mereka bisa speak tentang sesuatu dengan such confidence that investor start believing it will happen exactly sebagaimana they describe it—bahkan ketika probability nya sangat, sangat low.
Dan here’s the thing yang paling cynical: bahkan jika AI AGI (artificial general intelligence) never happen, the person yang benefit most dari AI bubble adalah the visionary yang managed to secure funding.
Mereka bisa raise uang selamanya asalkan mereka terus saying bahwa “we’re close to AGI.” Investor akan keep giving money sebab mereka tidak mau miss out pada possibility bahwa AGI bisa terjadi. FOMO (fear of missing out) adalah engine dari setiap bubble. Dan visionaries adalah experts dalam harvesting fear dan turning it into cash.
Bagian 5: Teknologi Masih Belum Melampaui Ekspektasi
Di sini adalah plot twist yang tidak banyak orang mau admit: AI belum menghasilkan breakthrough yang truly revolutionary.
GPT-4 adalah impressive. Tapi itu impressive dalam cara yang sama seperti IBM’s Deep Blue impressive ketika mengalahkan Kasparov di chess. Itu powerful. Tapi itu tidak mengubah dunia.
Ketika GPT-5 diluncurkan tahun lalu (2024), banyak orang expect bahwa ini akan be the breakthrough—the moment ketika AI finally menjadi indispensable dan everyone finally see the ROI. OpenAI bahkan hint bahwa GPT-5 akan bisa do things yang GPT-4 tidak bisa.
Tapi apa yang terjadi? OpenAI literally admit bahwa GPT-5 “was missing something important” dan not the leap mereka expect. Mereka downgrade expectations mereka. They admitted, in corporate speak, that the breakthrough belum datang.
Dan bisnis tetap investor dengan antusiasme yang sama seperti before.
Ini adalah definisi dari bubble: teknologi tidak deliver sebagaimana diharapkan, tapi investor tetap percaya bahwa eventually it will.
Bagian 6: Market Psychology vs Fundamental Economics
Dari perspective ekonomis, AI bubble tidak masuk akal.
Dari perspective dari market psychology, itu completely masuk akal.
Reason simple: dalam bull market, narrative mengalahkan fundamental. Narrative adalah: “AI will change everything.” Fundamental adalah: “AI hasn’t changed much of anything yet, dan we’re not sure when it will.”
Investor memilih narrative.
Ini bukan malah. Ini hanya how market bekerja. Market adalah collective belief system. Jika sufficient percentage dari investor believe bahwa AI akan revolutionize economy, then investment dalam AI akan go up, regardless dari whether AI actually revolutionizing anything right now.
Ini adalah self-fulfilling prophecy. Investor believe AI akan change everything. Karena investor believe ini, they invest dalam AI. Karena they invest dalam AI, AI companies get more resources. Karena mereka dapat lebih banyak resources, AI technology get incrementally better. Karena lebih baik, some people point ke incremental improvement sebagai evidence bahwa the revolution sedang happening.
Repeat sampai bubble pecah.
Bagian 7: Apa Sebenarnya yang Dibayar Oleh Investor?
Ini adalah question yang lebih fundamental: jika AI belum prove ROI-nya, why are investors masih throwing miliaran dollar ke dalam industri ini?
Jawaban jauh lebih boring daripada kelihatannya.
Investors tidak paying untuk AI technology yang exist right now. Mereka paying untuk potential dari AI technology di masa depan. Mereka betting bahwa dalam 5 tahun, atau 10 tahun, atau 20 tahun, AI akan menjadi so valuable bahwa early investors akan make enormous return.
Ini adalah exactly spektrasi yang sama yang drive Dot-Com bubble. Investor tidak invest dalam Pets.com karena mereka believe dalam selling pet food online. Mereka invest karena mereka percaya bahwa eventually, e-commerce akan menjadi huge, dan early mover di e-commerce space akan benefit.
Mereka benar tentang e-commerce. Tapi Pets.com masih bangkrut. Karena ini adalah difference antara teknologi yang win dan company yang win. Teknologi bisa revolutionary. Company specific yang implement teknologi bisa sama sekali tidak profitable.
Bagian 8: Ketika Bubble Pecah—Apa yang Akan Terjadi?
Sekarang ini adalah question yang everyone wondering tentang: when (tidak if) bubble AI pecah, apa yang akan happen?
Most likely scenario:
Phase 1: Realization (Bulan ke-1 sampai 3)
Analyst di Wall Street mulai publish reports tentang “oversaturation dalam AI market” dan “slow adoption rates dari enterprise customers.” Media mulai report tentang companies yang spent millions dalam AI tapi masih tidak ada meaningful ROI.
Phase 2: Repricing (Bulan ke-3 sampai 6)
Stock prices dari AI-focused companies mulai drop. Not catastrophic drop, tapi significant. Maybe 20-30% dari peak. Investor yang less bullish mulai exit positions.
Phase 3: The Cascade (Bulan ke-6 sampai 12)
Sebagian besar dari funding yang flowing ke AI startups dry up. Beberapa dari mereka akan dies. Bigger companies yang heavily invested dalam AI akan write off billions dalam losses. This triggers broader market correction karena AI adalah significant portion dari recent stock market gains.
Phase 4: The Recalibration (1 tahun+)
Market akan eventually stabilize pada valuation yang lebih realistic. Some AI technology akan survive dan find genuine applications. Some akan disappear completely. Beberapa companies yang betted besar pada AI akan survive lebih slim. Others akan gone atau acquired di distressed prices.
Tapi here adalah most important thing: even if bubble pecah, AI technology tidak akan disappear. AI akan masih ada. Itu hanya akan tidak over-valued lagi.
Penutup: Observasi Akhir tentang Uang Bodoh dalam Era Teknologi
Oscar Wilde pernah bilang: “The truth is rarely pure and never simple.”
Tentang bubble AI, kebenaran adalah ini: AI adalah teknologi yang truly powerful dan potentially revolutionary. Tapi itu tidak today. Itu mungkin tomorrow. Atau bulan depan. Atau tahun depan. Atau tidak pernah.
Dan sementara kami menunggu untuk menemukan out, investor akan terus membuang uang ke dalam industri ini dengan harapan bahwa eventually, mereka akan mendapatkan return.
Ini bukan malah. Ini adalah how capitalism bekerja. Risk-taker mencari upside. Mereka willing untuk accept losses untuk chance pada big gains. Sebagian besar dari mereka akan lose money. Beberapa dari mereka akan make fortune.
Tapi itulah cost dari innovation—tidak semua bet pay off. Beberapa dari mereka pay off spectacularly. Yang lainnya completely fizzle.
Yang paling ironis? Orang-orang yang akan paling hurt ketika AI bubble pecah bukan investor yang sophisticated yang understand risk. Mereka akan fine—mereka diversified, mereka tahu ini bisa terjadi. Orang-orang yang paling hurt adalah retail investors yang caught up dalam hype dan put significant portion dari retirement savings mereka ke dalam AI stocks.
Jadi untuk mereka, saran saya simple:
Itu mungkin terjadi. Kemungkinan juga tidak. Percayai teknologi, tapi doubt kepada timeline. Percayai bahwa someone akan make fortune dari AI, tapi doubt bahwa it’s definitely going untuk be you.
Dan most importantly: jangan ever invest uang yang Anda tidak afford untuk lose dalam sesuatu yang Anda tidak sepenuhnya understand.
Karena di akhir dari setiap bubble, orang-orang yang paling rugi adalah orang yang invest karena semua orang lain invest, bukan karena mereka truly believe dalam fundamentals.
Apakah Anda pikir AI bubble akan pecah? Atau apakah Anda percaya bahwa kali ini benar-benar berbeda? Bagikan perspektif investasi Anda—dan lebih penting lagi, sharing story tentang AI investment Anda di comment section. Mari kita diskusikan bersama apakah ini adalah teknologi future atau speculative bubble terbesar dari dekade ini.












One Comment