Belajar bagaimana Islam mengajarkan kita untuk menjaga bumi sebagai bagian dari iman dan tanggung jawab spiritual.
Pendahuluan
Setiap kali Anda membuang sampah plastik, Anda sedang membuat pilihan. Dalam hitungan abad, pilihan-pilihan kecil ini telah mengakumulasi menjadi krisis lingkungan global yang mengancam jutaan kehidupan. Namun bagi Muslim, pilihan ini bukan hanya tentang lingkungan—ini tentang iman, tanggung jawab kepada Allah, dan amanah yang diamanatkan kepada generasi mendatang.
Krisis iklim bukan lagi berita di masa depan—ini adalah realitas sekarang. Suhu global meningkat 1,1°C dibanding masa pra-industri. Indonesia kehilangan 115.000 hektare hutan setiap tahunnya. 64 juta ton sampah plastik dihasilkan oleh negara kita. Pada waktu yang sama, upaya-upaya lingkungan sekular telah mencapai batas dalam mobilisasi masyarakat Muslim.
Solusi nyata membutuhkan perspektif baru—dan Islam memilikinya. Ekoteologi Islam menawarkan kerangka spiritual yang kuat, prinsip-prinsip praktis, dan motivasi mendalam untuk aksi lingkungan yang berkelanjutan. Dalam artikel ini, Anda akan belajar tentang 3 pilar fundamental ekoteologi Islam, menemukan 7 cara konkret untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan melihat bagaimana Muslim di Indonesia sudah membuktikan bahwa iman dan lingkungan adalah dua sisi dari koin yang sama.
Mari kita pelajari bagaimana Islam melihat hubungan kita dengan alam, dan bagaimana pemahaman ini dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan meninggalkan warisan untuk anak cucu kita.
Apa Itu Ekoteologi Islam?
Ekoteologi Islam adalah studi tentang hubungan spiritual antara manusia, Allah, dan alam berdasarkan prinsip-prinsip Qur’ani. Kata ini berasal dari dua istilah: “eco” (rumah) dan “theology” (studi tentang Tuhan)—sehingga secara harafiah berarti “studi tentang bagaimana kita memahami Tuhan melalui rumah kita yang bersama: bumi ini.”
Namun ekoteologi Islam bukan hanya tentang alam sebagai sebuah topik akademis. Ini adalah pemahaman mendalam bahwa setiap aspek penciptaan—dari pohon terkecil hingga lautan terbesar—adalah tanda (ayat) dari Allah, dan bahwa merawat alam adalah bagian integral dari ibadah dan ketakwaan kita.
Sejarah Perkembangan Konsep
Ekoteologi Islam memiliki akar yang dalam dalam tradisi Islamic klasik. Para ulama abad pertengahan seperti Al-Ghazali dan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sudah menulis tentang pentingnya menghormati alam dan larangan untuk merusak lingkungan. Namun, konsep “ekoteologi” dalam formulasi modernnya adalah hasil pemikiran ulama kontemporer yang merespons krisis lingkungan global.
Tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr (dengan konsep “Eco-Sufism”), Said Nursi (menghubungkan kesadaran lingkungan dengan kebangkitan spiritual), dan Nasaruddin Umar (mengembangkan kerangka konservasi lingkungan dari perspektif tafsir Qur’an) telah memperkaya diskursus ini. Pada tahun 2025, Konferensi Internasional tentang Ekoteologi Islam (ICIEFE) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama menghasilkan Risalah Ekoteologi yang mengakui pentingnya perspektif Islamic dalam penyelesaian krisis lingkungan.
Bagaimana Ekoteologi Islam Berbeda dari Etika Lingkungan Barat?
Etika lingkungan Barat sering kali bersifat sekular dan berbasis pada konsep “hak-hak alam” atau nilai intrinsik yang dimiliki alam itu sendiri. Ini adalah perspektif penting, namun ia kehilangan dimensi spiritual.
Ekoteologi Islam, sebaliknya, bersandar pada fondasi spiritual yang kuat: alam memiliki nilai karena Allah menciptakannya, dan menghormati alam adalah cara kita menghormati Allah. Ini mengubah motivasi—bukan hanya “kita harus menyelamatkan bumi untuk bumi itu sendiri,” melainkan “kita harus merawat bumi karena ini adalah amanah dari Allah dan tanggung jawab kami sebagai umat Muslim.”
Perbedaan ini adalah krusial. Dalam perspektif sekular, lingkungan adalah masalah di luar atau terpisah dari nilai-nilai spiritual. Dalam perspektif Islamic, lingkungan adalah aspek central dari iman dan karakter moral seseorang.
Mengapa Muslim Butuh Ekoteologi Islam Sekarang?
Dengan 1,9 miliar Muslim di seluruh dunia, dan Indonesia adalah negara Muslim terbesar, Muslim memiliki potensi untuk menggerakkan transformasi lingkungan yang besar. Namun, banyak Muslim tidak menyadari bahwa tradisi mereka memiliki sumber daya spiritual dan intelektual untuk memimpin gerakan lingkungan.
Ekoteologi Islam mengisi gap ini. Ini memberikan kepada Muslim—dari berbagai latar belakang pendidikan dan ekonomi—kerangka kerja yang resonan dengan nilai-nilai spiritual mereka untuk mengambil aksi lingkungan. Dengan menghubungkan aksi lingkungan dengan iman, ibadah, dan tanggung jawab kepada Allah, ekoteologi Islam membuat sustainability menjadi bukan hanya pilihan etis, tetapi kewajiban spiritual.

3 Pilar Fundamental Ekoteologi Islam
Ekoteologi Islam berdiri di atas tiga pilar fundamental yang saling terhubung dan memperkuat satu sama lain. Ketiga pilar ini membentuk keseluruhan framework untuk memahami hubungan manusia dengan lingkungan dalam Islam. Mari kita jelajahi masing-masing secara mendalam.
Pilar 1: Tauhid – Keesaan Allah dan Kepemilikan Sejati Alam
Inti Konsep
Tauhid, yang berarti mengucapkan dan percaya pada “La ilaha illallah” (tidak ada tuhan selain Allah), adalah fondasi seluruh iman Islamic. Dalam konteks ekoteologi, tauhid membawa implikasi krusial: hanya Allah yang memiliki wewenang mutlak dan kepemilikan sejati atas alam semesta.
Qur’an menyatakan dengan jelas dalam Surah Al-Baqarah (2:29): “Dialah Yang menciptakan untuk kamu semua yang ada di bumi…” Ayat ini mengindikasikan bahwa semua yang ada di bumi diciptakan untuk kemanfaatan manusia, tetapi di bawah otoritas Allah. Manusia bukan pemilik—manusia adalah pengguna sementara yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Implikasi Spiritual dan Praktis
Ketika seseorang benar-benar memahami tauhid dalam konteks ekologi, perspektif mereka tentang alam berubah secara fundamental. Alam bukan komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas. Alam adalah amanah (trust) dari Allah yang harus dijaga dengan hati-hati dan rasa tanggung jawab.
Konsekuensinya sederhana namun mendalam: merusak alam bukan hanya masalah lingkungan—ini adalah melanggar hak prerogatif Allah dan pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepada kita. Surah Al-Ra’d (13:33) menegaskan, “Alam di langit dan di bumi tunduk kepada Allah,” menunjukkan bahwa semua alam menyembah Allah dengan cara mereka sendiri.
Ketika seorang petani memahami tauhid dengan benar, dia tidak lagi memandang tanah sebagai properti pribadi untuk dieksploitasi secara maksimal demi keuntungan jangka pendek. Sebaliknya, dia melihat tanah sebagai kepercayaan dari Allah yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Ini adalah fondasi pertanian berkelanjutan dalam Islam.
Pilar 2: Khalifah – Tanggung Jawab Stewardship Manusia
Definisi dan Makna
Khalifah berarti “khalifah,” “trustee,” “viceroy,” atau “guardian.” Ini menunjuk pada peran manusia sebagai penjaga atau penatalayan (steward) dari alam. Istilah ini sering disalahpahami di Barat sebagai memberikan kepada manusia dominasi tanpa batas atas alam—namun pemahaman Islamic yang benar adalah sebaliknya.
Khalifah bukan tentang dominasi; ini tentang tanggung jawab aktif yang dijalankan dengan kebijaksanaan dan akuntabilitas.
Dasar Qur’ani
Qur’an menceritakan bagaimana Allah menunjuk manusia sebagai khalifah: “Berita gembira! Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (Al-Baqarah 2:34). Namun, tanggung jawab ini disertai dengan peringatan tegas dalam Surah Al-Rum (30:41): “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Kami rasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].”
Ayat ini bukan hanya menceritakan tentang kerusakan—ini adalah diagnostic ayat yang menunjukkan hubungan langsung antara tindakan manusia dan konsekuensi lingkungan. Jika manusia merusak alam, alam akan bereaksi dengan cara yang merugikan manusia itu sendiri.
Makna dalam Konteks Lingkungan
Khalifah berarti manusia memiliki:
- Otoritas untuk membuat keputusan tentang bagaimana menggunakan sumber daya alam
- Tanggung jawab aktif untuk mengelola dengan bijaksanaan dan keberlanjutan
- Akuntabilitas kepada Allah untuk setiap keputusan yang dibuat
Ini berbeda secara fundamental dari konsep “dominion” dalam teologi Barat, yang sering diinterpretasikan sebagai hak untuk mengeksploitasi tanpa batas.
Stewardship active ini berarti manusia harus secara aktif terlibat dalam pengelolaan hutan, perlindungan lautan, pengelolaan limbah, dan konservasi keanekaragaman hayati—bukan karena ini menguntungkan secara finansial jangka pendek, tetapi karena ini adalah amanah dari Allah.
Studi Kasus: Pesantren Hijau Nurul Ilmi
Pesantren Hijau Nurul Ilmi di Indonesia mendemonstrasikan apa yang khalifah berarti dalam praktik. Pesantren ini telah mengintegrasikan konsep khalifah ke dalam setiap aspek operasinya. Dengan mengelola lebih dari 100 hektare lahan pertanian organik, menggunakan energi terbarukan, dan mengimplementasikan sistem panen air, pesantren ini menunjukkan bahwa khalifah bukan hanya konsep spiritual—ini adalah tanggung jawab konkret yang dapat diimplementasikan.
Lebih dari 500 santri belajar di pesantren ini setiap tahunnya, tidak hanya mempelajari Qur’an dan Hadith, tetapi juga merasakan secara langsung apa berarti menjadi khalifah yang bertanggung jawab atas alam.
Pilar 3: Amanah – Amanah Ekologis kepada Generasi Mendatang
Definisi Amanah
Amanah dalam Islam berarti “kepercayaan sakral” atau “tanggung jawab yang diamanatkan kepada kita oleh Allah.” Dalam konteks lingkungan, amanah berarti bahwa generasi kita adalah caretaker (penjaga) bagi planet ini untuk generasi mendatang. Kami menerima bumi ini dalam kondisi tertentu, dan kami bertanggung jawab untuk meninggalkannya dalam kondisi yang sama baiknya, jika tidak lebih baik.
Dasar Qur’ani
Surah Al-Ahzab (33:72) menceritakan kisah yang menakjubkan: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung, maka semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatnya, dan dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat jahil.”
Ayat ini menunjukkan sesuatu yang remarkable: bahkan alam itu sendiri (langit, bumi, gunung) merasa berat dengan tanggung jawab amanah ini. Namun manusia—meskipun menyadari risiko—menerima amanah ini. Ini adalah kehormatan dan tanggung jawab yang besar.
Keadilan Intergenerasi
Dalam konteks modern, amanah lingkungan berarti keadilan intergenerasi—prinsip bahwa kita harus membuat keputusan yang tidak hanya menguntungkan kita hari ini, tetapi juga memastikan bahwa generasi mendatang mewarisi planet yang layak huni.
Ada hadith yang berkaitan yang menyatakan: “Siapa pun yang hidup harus membuka jalan untuk mereka yang akan datang lebih baik dari yang dia terima.” Ini bukan hanya filosofi—ini adalah standar moral Islamic untuk stewardship.
Ketika kita merusak lingkungan dengan ekstraksi berlebihan, polusi, atau pelepasan emisi karbon yang berlebihan, kami sedang melanggar amanah terhadap anak cucu kita. Tindakan kami sekarang menentukan kualitas hidup mereka di masa depan.
Implikasi Praktis
Amanah lingkungan diterjemahkan menjadi:
- Pengelolaan sumber daya berkelanjutan (memanen hanya apa yang dapat diperbarui)
- Reduksi jejak karbon (mengurangi emisi demi generasi mendatang)
- Pendidikan lingkungan untuk anak-anak (meninggalkan warisan pengetahuan, bukan hanya barang)
- Advokasi kebijakan jangka panjang (memastikan struktur institusional mendukung sustainability)
Program WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) tentang keadilan intergenerasi menunjukkan bagaimana amanah ini diterapkan konkretnya: melindungi hutan bakau untuk stabilitas panen padi generasi mendatang, menjaga air bersih untuk anak-anak kita, dan mengelola sumber daya alam dengan perspektif jangka panjang.

Fondasi Qur’ani dan Hadith
Ekoteologi Islam bukan ciptaan modern yang “ditambahkan” ke tradisi Islamic. Prinsip-prinsip environmental stewardship tertanam dalam Qur’an dan Hadith sejak lebih dari 1.400 tahun lalu. Berikut adalah ayat-ayat dan hadith kunci yang membentuk fondasi ekoteologi Islam.
Surah Al-Baqarah (2:29) – “Dialah Yang menciptakan untuk kamu semua yang ada di bumi…” Ayat ini menetapkan prinsip dasar: semua di bumi diciptakan untuk manusia, namun di bawah otoritas Allah. Ini mengimplikasikan tanggung jawab, bukan kepemilikan absolut.
Surah Al-Rum (30:41) – “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Kami rasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali [ke jalan yang benar].” Ini adalah ayat diagnostic paling langsung tentang hubungan antara tindakan manusia dan kerusakan lingkungan.
Surah Al-A’raf (7:56) – “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Tuhan memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” Larangan eksplisit terhadap fasad fil ardh (kerusakan di bumi) adalah perintah untuk menjaga lingkungan.
Hadith tentang Penanaman Pohon – Hadith yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik: “Siapa pun yang menanam pohon dan pohon itu memberikan buah, dia akan menerima pahala setiap kali seseorang memakan dari buahnya. Bahkan jika pohon itu dirusak atau dicuri, dia tetap mendapat pahala. Ini adalah sedekah yang tidak pernah berhenti pahalaannya.” Ini menunjukkan bahwa environmental action—khususnya penanaman pohon—adalah ibadah dengan pahala yang berkelanjutan.
Hadith tentang Larangan Merugikan – “Tidak ada merugikan dan tidak ada balas dendam” (La darar wa la dirar). Hadith ini, meskipun pertama kali diriwayatkan dalam konteks transaksi manusia, telah diperluas maknannya untuk memasukkan kerusakan lingkungan. Jika kita tidak boleh merugikan sesama manusia, tentu kita juga tidak boleh merugikan lingkungan yang menjadi dasar kehidupan semua orang.
Hadith tentang Syukur – “Siapa pun yang bersyukur akan ditambahkan nikmatnya.” Syukur kepada Allah untuk pemberian alam—air, tanah, udara, biota—adalah cara kita menjaga dan melindunginya.
Para ulama klasik seperti Al-Ghazali dan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah sudah memahami prinsip-prinsip ini berabad-abad lalu. Kini giliran kita untuk menghidupkan kembali pemahaman ini dalam konteks krisis iklim modern dan membiarkannya menginformasikan keputusan dan aksi kita.
Krisis Lingkungan Melalui Lensa Islam
Krisis lingkungan global bukan hanya masalah sains atau ekonomi—dalam perspektif Islamic, ini adalah krisis spiritual dan moral yang membutuhkan pemahaman dan solusi spiritual.
Snapshot Krisis Global dan Indonesia
Tingkat Global:
- Peningkatan suhu: 1,1°C lebih hangat dibanding era pra-industri
- Kepunahan spesies: 1 juta spesies terancam punah
- Kehilangan hutan: 50% kehilangan hutan dalam 50 tahun terakhir
- Asidifikasi lautan: Laut menjadi 30% lebih asam sejak revolusi industri
Konteks Indonesia:
- Deforestasi: 115.000 hektare hutan hilang setiap tahunnya
- Sampah plastik: 64 juta ton sampah plastik per tahun
- Polusi udara: Jakarta dan beberapa kota besar secara konsisten masuk daftar kota terpolusi di dunia
- Polusi air: 80% sumber air di perkotaan terkontaminasi
Interpretasi Islamic tentang Krisis
Qur’an menggunakan istilah “fasad fil ardh” (kerusakan di bumi) untuk menggambarkan kondisi yang kami hadapi. Ini bukan hanya deskripsi ekologis—ini adalah kategori dosa dalam Islam. Kerusakan alam disebabkan oleh kelalaian manusia, dan itu membawa konsekuensi.
Akar Penyebab dari Perspektif Islamic:
- Lupa Tauhid – Ketika manusia lupa bahwa hanya Allah yang pemilik sejati, mereka mulai memperlakukan alam sebagai milik pribadi untuk dieksploitasi tanpa batas.
- Salah Interpretasi Khalifah – Ketika konsep khalifah (stewardship) diinterpretasikan sebagai dominasi dan eksploitasi, manusia merasa berhak untuk menggunakan alam tanpa pertimbangan konsekuensi jangka panjang.
- Mengingkari Amanah – Ketika manusia berfokus hanya pada keuntungan generasi saat ini tanpa mempertimbangkan generasi mendatang, mereka mengkhianati amanah yang diamanatkan kepada mereka.
Panggilan untuk Aksi
Ini bukan hanya masalah lingkungan. Ini adalah masalah moral dan spiritual Islam. Setiap Muslim yang memahami Qur’an dan Hadith tahu bahwa menjaga lingkungan bukan hanya pilihan atau tren lingkungan. Ini adalah perintah dari Allah. Krisis iklim adalah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai Islam yang fundamental dan untuk menjalankan khalifah kami dengan serius.

7 Cara Praktis Menerapkan Ekoteologi Islam
Memahami ekoteologi Islam secara intelektual itu penting. Namun yang lebih penting adalah mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah 7 cara konkret yang dapat setiap Muslim lakukan untuk menerapkan ekoteologi Islam dalam praktik.
#1: Mindful Consumption (Asketisme Qur’ani)
Prinsip Islamic: Larangan israf (pemborosan) dalam Islam.
Qur’an melarang secara eksplisit: “Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan” (Al-A’raf 7:31). Konsumsi berlebihan bukan hanya masalah ekonomi pribadi—ini adalah melanggar prinsip Islamic yang fundamental.
Langkah Praktis:
- Audit konsumsi pribadi Anda bulan ini – Apa yang Anda beli versus apa yang Anda butuhkan?
- Identifikasi pola pemborosan – Kemasan sekali pakai, pembelian impulsif, makanan terbuang
- Transisi ke alternatif berkelanjutan – Tas kanvas daripada plastik, wadah dapat digunakan kembali
- Beli lokal dan musiman – Mengurangi emisi transportasi dan mendukung petani lokal
- Pilih produk etis – Sertifikasi halal + berkelanjutan, supply chain transparan
Contoh Nyata: Ketika Anda memilih tas kanvas daripada tas plastik, Anda membuat pilihan yang menjalankan amanah. Sebuah pilihan kecil—namun jika dilakukan oleh jutaan Muslim, dampaknya adalah transformatif. Penelitian menunjukkan bahwa mindful consumption dapat mengurangi jejak karbon pribadi sebesar sekitar 30%.
#2: Environmental Advocacy (Tabligh Lingkungan)
Prinsip Islamic: Kewajiban Islamic untuk mengajak kepada yang baik (amar bil ma’ruf).
Dalam Islam, jika kita mengetahui sesuatu yang baik, kita memiliki tanggung jawab untuk membagikannya. Environmental stewardship adalah “yang baik” dalam konteks modern.
Langkah Praktis:
- Bagikan pengetahuan Islamic tentang lingkungan kepada keluarga dan teman
- Berpartisipasi atau inisiatif pembersihan komunitas dengan framing Islamic
- Bergabunglah atau dukung organisasi Muslim lingkungan yang sudah ada (seperti Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan)
- Gunakan media sosial untuk menyebarkan kesadaran dengan framing Islamic
- Selenggarakan workshop di masjid tentang Islam dan lingkungan
Contoh Nyata: Seorang pekerja kantor membawa artikel tentang ekoteologi Islam ke ruang istirahat kantornya. Dalam dua bulan, 10 rekan kerjanya tertarik. Mereka mulai mengadakan “Jumatan Hijau” di sela-sela pekerjaan—membersihkan area sekitar kantor setelah sholat Jumat. Ini adalah tabligh yang sedang beraksi.
#3: Sacred Sourcing (Halal + Berkelanjutan)
Prinsip Islamic: Halal harus berarti permissible DAN berkelanjutan; menghormati creation adalah bagian dari halal sejati.
Banyak Muslim memahami halal hanya dalam konteks bagaimana hewan disembelih atau bagaimana makanan diproses. Namun, halal yang sejati juga mempertimbangkan bagaimana makanan diproduksi dan dampak lingkungannya.
Langkah Praktis:
- Periksa sertifikasi halal – Apakah itu hanya sertifikasi ritual atau juga includes sustainability standards?
- Beli dari petani Muslim yang menggunakan metode organik/berkelanjutan
- Verifikasi ethical supply chain (tidak ada eksploitasi, tidak ada kerusakan lingkungan)
- Pilih produk dengan minimal environmental footprint
- Dukung bisnis yang menggabungkan halal + sustainability
Contoh Nyata: Ibu Siti memilih ayam dari petani Muslim lokal yang menggunakan metode berkelanjutan daripada dari peternakan industri berskala besar. Lebih mahal, tetapi dia tahu bahwa “halal”-nya “lengkap”—dihalalkan dengan cara yang menghormati alam dan menciptakan lapangan kerja yang adil.
#4: Community Tree Planting (Mengimplementasikan Hadith)
Prinsip Islamic: Implementasi langsung dari hadith “Siapa pun yang menanam pohon, Allah akan memberikan pahala kepada orang itu.”
Ini adalah mungkin cara paling sederhana namun paling powerful untuk menerapkan ekoteologi Islam secara konkret.
Langkah Praktis:
- Selenggarakan acara penanaman pohon bulanan di masjid atau pesantren
- Buat proyek taman sekolah/pesantren (taman sayur, pohon buah)
- Berpartisipasi dalam inisiatif reboisasi (bermitra dengan LSM lingkungan)
- Ajarkan anak-anak stewardship Islamic melalui aktivitas penanaman praktis
- Lacak dampak (berapa banyak pohon, berapa banyak karbon offset)
Contoh Nyata: Setiap Jumat, kelompok pemuda masjid Nurul Huda menanam 50 pohon di sekitar RT mereka. Dalam setahun, 2.600 pohon tertanam. Setiap pohon adalah ibadah dengan pahala yang berkelanjutan—setiap kali buah atau akar memberikan manfaat, pahalanya terus mengalir.
#5: Water Stewardship (Khalifah Akuatik)
Prinsip Islamic: Air (ma’) sebagai sumber daya sakral dalam Islam; bahkan dalam wudhu (ablusi), kami diajarkan untuk tidak membuang air.
Langkah Praktis:
- Kurangi konsumsi air sehari-hari – Mandi lebih singkat, perbaiki kebocoran
- Cegah polusi air – Pembuangan kimia yang tepat, tidak membuang sampah ke sungai
- Dukung atau berpartisipasi dalam inisiatif pembersihan sungai/laut
- Advokasi kebijakan perlindungan air komunitas
- Ajarkan anak-anak kesadaran air melalui lensa Islamic
Contoh Nyata: Ustaz Rahmat mengajarkan murid-muridnya bahwa sempurna wudhu bukan hanya tentang niat—tetapi juga tentang tidak membuang air. Dari sini, mereka memahami mengapa mereka harus berhemat air di rumah juga—itu adalah bagian dari khalifah mereka terhadap Allah.
#6: Energy Efficiency (Mizan/Balance)
Prinsip Islamic: Konsep Islamic mizan (balance/proporsi); gunakan hanya apa yang Anda butuhkan, tidak lebih, tidak kurang.
Langkah Praktis:
- Beralih ke energi terbarukan jika memungkinkan (panel surya, paket energi hijau)
- Tingkatkan efisiensi energi rumah (lampu LED, insulasi yang tepat, AC efisien)
- Gunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi bila memungkinkan
- Dukung bisnis Muslim yang memiliki energi hijau
- Lacak penggunaan energi dan tetapkan target pengurangan
Contoh Nyata: Pak Ahmad mengganti semua lampu rumahnya dengan LED dan memasang panel surya. Tagihan listrik turun 60%. Dia merasa dia sedang menjalankan mizan—tidak lebih, tidak kurang—menggunakan hanya apa yang dia butuhkan.
#7: Climate Education & Advocacy (Ilm/Pengetahuan)
Prinsip Islamic: Penekanan Islamic pada pengetahuan (ilm) dan pengajaran (ta’lim); ketidaktahuan bukan alasan.
Langkah Praktis:
- Pelajari secara mendalam ajaran Islamic tentang lingkungan – Baca tafsir, pelajari ulama
- Ajarkan anak-anak tentang environmental stewardship Islamic – Age-appropriate
- Selenggarakan workshop di masjid tentang ekoteologi Islamic
- Dukung penelitian dan pendidikan lingkungan Islamic
- Terlibat dalam advokasi kebijakan yang diinformasikan oleh prinsip Islamic
Contoh Nyata: Ibu Fatima mulai membaca tafsir Qur’an dengan fokus pada ayat-ayat lingkungan. Dia membuat grup WhatsApp “Quran & Lingkungan” di komunitasnya. Sekarang 150+ Muslim aktif belajar ekoteologi Islamic bersama. Dari satu orang yang belajar, pengetahuan menjadi gerakan.
Studi Kasus Indonesia: Ekoteologi Islam dalam Praktik
Teori yang sempurna tetap teori jika tidak ada praktik. Untungnya, di Indonesia sudah ada beberapa institusi dan komunitas yang menunjukkan bagaimana ekoteologi Islam diterapkan dengan nyata dan menghasilkan dampak lingkungan yang terukur. Mari kita lihat 3 contoh yang inspiring.
Kasus 1: Pesantren Hijau Nurul Ilmi – Pendidikan Islamic yang Berkelanjutan
Latar Belakang dan Visi
Pesantren Hijau Nurul Ilmi didirikan dengan visi mengintegrasikan ajaran Islam dengan environmental stewardship secara holistik. Lebih dari 500 santri belajar di sini setiap tahunnya, tidak hanya menghafal Qur’an tetapi juga menerapkan khalifah mereka pada tanah, air, dan energi secara praktis.
Implementasi Konkret
- Pertanian Organik: Pesantren mengelola lebih dari 100 hektare lahan pertanian organik yang menggunakan prinsip-prinsip pertanian Islamic tanpa pestisida berbahaya.
- Energi Terbarukan: Panel surya menyediakan 80% kebutuhan energi pesantren, demonstrasi komitmen pada sustainability.
- Sistem Panen Air: Sistem canggih untuk menangkap dan menyimpan air hujan, mengurangi ketergantungan pada groundwater.
- Kurikulum Terintegrasi: Setiap santri, di samping pelajaran Islamic tradisional, menerima pendidikan lingkungan yang mendalam dan praktis.
Bagaimana Ini Menerapkan Ekoteologi:
- Tauhid: Santri belajar bahwa Allah menciptakan; manusia adalah steward, bukan pemilik.
- Khalifah: Tanggung jawab aktif dalam mengelola lahan, tanaman, dan air—bukan pasif tetapi engaged.
- Amanah: Mempersiapkan generasi muda untuk mewarisi dan memelihara planet yang berkelanjutan.
Dampak dan Hasil
- 100+ hektare farmland organik menghasilkan makanan untuk pesantren dan masyarakat lokal
- 500+ santri dilatih setiap tahunnya dalam Islamic ecotheology
- Operasi pesantren telah carbon-neutral sejak 2022
- Alumni banyak yang mendirikan pesantren/sekolah hijau lain di Indonesia, menyebarkan model ini
Pelajaran Kunci: Pesantren ini membuktikan bahwa institusi Islamic dapat menjadi pemimpin dalam sustainability. Model mereka dapat direplikasi di pesantren dan sekolah lain di seluruh Indonesia.
Kasus 2: WALHI Projects – Keadilan Lingkungan dengan Islamic Framing
Tentang WALHI
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) adalah organisasi lingkungan terbesar di Indonesia dengan kepemimpinan Muslim yang kuat. Mereka membuktikan bahwa advocacy skala besar dapat dipandu oleh prinsip-prinsip ekoteologi Islam.
Proyek Kunci:
1. Mangrove Forest Conservation (Jawa Timur)
- Telah memulihkan 50.000+ hektare hutan bakau
- Islamic angle: Hutan bakau adalah ekosistem yang Allah ciptakan untuk melindungi pantai dan ribuan kehidupan
- Community-based: Nelayan Muslim lokal dilatih sebagai steward ekosistem ini
- Dampak: Stabilitas panen ikan, perlindungan dari badai, habitat untuk spesies laut
2. Kampanye Sampah Plastik
- “Sampah Plastik = Kerusakan Amanah”
- Menggunakan framing Islamic untuk memotivasi perubahan perilaku
- 1M+ orang dijangkau dengan messaging tentang Islamic environmental responsibility
- Partnership dengan komunitas Muslim, masjid, pesantren
3. Climate Justice Advocacy
- Mengadvokasi kebijakan yang melindungi komunitas rentan dan miskin
- Prinsip Islamic: Keadilan sosial adalah bagian dari keadilan lingkungan
- Pengaruh kebijakan: 5+ undang-undang regional dipengaruhi oleh advocacy mereka
4. Intergenerational Justice Initiatives
- Program memastikan generasi mendatang mewarisi air bersih, udara bersih, hutan yang utuh
- Implementasi langsung dari konsep Islamic amanah
Bagaimana Ini Menerapkan Ekoteologi:
- Khalifah: Restorasi ekosistem aktif (bukan hanya konservasi pasif)
- Fasad fil ardh: Resistansi langsung terhadap kerusakan lingkungan
- Amanah: Melindungi sumber daya untuk komunitas Muslim generasi mendatang
- Tabligh: Mobilisasi Muslim ke aksi lingkungan melalui nilai-nilai Islamic
Dampak dan Skala
- 1M+ orang dimobilisasi setiap tahunnya
- Pengaruh kebijakan di tingkat regional dan nasional
- Ribuan kehidupan nelayan dan petani diberdayakan
- Model dapat direplikasi di wilayah lain dengan ekosistem serupa
Pelajaran Kunci: Organized Muslim advocacy dapat scale environmental action dan membawa perubahan struktural.
Kasus 3: Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan – Grassroots Islamic Environmentalism
Tentang Komunitas
Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan adalah gerakan grassroots yang menunjukkan bagaimana individu biasa dapat menjadi environmental leaders ketika dipandu oleh prinsip Islamic. Dimulai dari grup kecil, sekarang mencakup ribuan anggota aktif di berbagai kota.
Aktivitas Inti
1. Monthly Cleanups
- Pembersihan pantai/sungai dengan framing Islamic
- “Subuh cleanups”: Memulai hari dengan amal sambil menjaga khalifah
- Community building: Ibadah + environmental action berjalan beriringan
2. Educational Workshops
- Sesi dalam masjid tentang ekoteologi Islamic
- Topik: Hadith tentang environmental stewardship, ayat-ayat Qur’an, tips praktis
- Fokus pada generasi muda: Membuat environmentalism “cool” untuk Gen Z
3. Sustainable Lifestyle Coaching
- Konsultasi personal: Bagaimana mengurangi carbon footprint secara Islamic
- Tantangan komunitas: “Tantangan 30 hari berkelanjutan”
4. Youth Environmental Activism
- Chapter di sekolah menengah dan universitas
- Leadership development untuk generasi muda
- Training advocacy kebijakan
Bagaimana Ini Menerapkan Ekoteologi:
- Tabligh: Mengajar Muslim lain tentang tanggung jawab lingkungan yang berakar dalam Islam
- Khalifah Komunitas: Aksi stewardship kolektif (lebih kuat bersama)
- Amanah: Melibatkan generasi muda sebagai pemimpin masa depan
- Mizan: Pendekatan seimbang (spiritual + praktis)
Dampak Lokal
- 1.000+ anggota aktif di seluruh Indonesia
- 200+ orang berpartisipasi dalam pembersihan bulanan
- Pengurangan sampah plastik: 500+ ton dialihkan dari tempat pembuangan akhir dalam 1 tahun
- Kemitraan masjid: 50+ masjid terlibat dalam inisiatif hijau
Bagaimana Bergabung: Temukan chapter lokal atau mulai satu: Instagram @komunitas_muslim_pecinta_lingkungan. Pertemuan bulanan + komunitas online. Tidak ada biaya keanggotaan.
Pelajaran Kunci: Gerakan grassroots Muslim dapat menciptakan perubahan perilaku lingkungan yang berkelanjutan dan dapat direplikasi di komunitas lain.
Perspektif Ulama Kontemporer tentang Islamic Ecotheology
Untuk memperdalam pemahaman ekoteologi Islam, penting untuk mendengarkan suara-suara cendekiawan Muslim kontemporer yang telah merefleksikan prinsip-prinsip Islamic ecotheology dalam konteks modern.
Seyyed Hossein Nasr: Eco-Sufism dan Alam Sakral
Seyyed Hossein Nasr adalah cendekiawan Iran terkemuka yang telah mengembangkan framework “Islamic Ecotheology” paling berpengaruh di dunia Muslim modern.
Kontribusi Inti: Nasr mengargumentasikan bahwa alam adalah manifestasi dari Divine—bukan hanya sumber daya. Menghormati alam adalah cara kita menghormati Allah. Environmental care bukan hanya kewajiban etis tetapi praktik spiritual.
Karya Kunci: “Religion and the Order of Nature” (1996) yang mengargumentasikan bahwa krisis spiritual dalam modernitas telah menyebabkan krisis lingkungan. Solusi membutuhkan pengembalian visi sakral tentang alam seperti yang ditemukan dalam tradisi Islamic.
Aplikasi Modern: Contemplative environmentalism—environmental action dimulai dengan kebangkitan spiritual. Seorang santri yang mempelajari tafsir dapat melihat Qur’an dengan lensa baru: setiap ayat tentang creation adalah undangan untuk reverence dan stewardship, bukan hanya obligation eksternal tetapi journey spiritual.
Said Nursi: Environmental Consciousness dari Spiritual Crisis
Said Nursi (1877-1960) adalah pemikir Islam Turki yang melihat hubungan langsung antara spiritual decline dan environmental destruction di zamannya.
Kontribusi Inti: Menghubungkan krisis spiritual dengan kerusakan lingkungan. Setiap kerusakan lingkungan adalah hasil dari negligence spiritual. Alam (signs of Divine) dipandang remeh ketika manusia lupa Allah. Environmental care = return to spiritual consciousness.
Karya Kunci: Risalah Nur (Letters of Light) yang memerlakukan alam sebagai ayat (signs) dari Divine. Menghormati alam adalah membaca Kitab Kawn (Book of Creation), parallel dengan membaca Kitab-Allah (Book of Allah).
Aplikasi Modern: Spiritual awakening sebagai fondasi environmental action. Muslim yang mengisi hati dengan kesadaran Divine tidak bisa berbuat merusak alam—karena alam adalah ayat Allah. Environmental action menjadi konsekuensi alami dari iman, bukan obligation eksternal.
Nasaruddin Umar: Konservasi dari Perspektif Tafsir
Nasaruddin Umar adalah cendekiawan Indonesia yang telah menyusun kerangka komprehensif Islamic environmental ethics dari perspektif tafsir Qur’an.
Kontribusi Inti: Pendekatan Qur’ani yang sistematis terhadap konservasi lingkungan. Analisis detail tentang 500+ ayat yang berkaitan dengan alam/lingkungan. Framework: Tauhid → Khalifah → Amanah. Policy-oriented: Bagaimana prinsip Islamic diterjemahkan menjadi kebijakan lingkungan aktual.
Karya Kunci: “Konservasi Lingkungan dari Perspektif Islam” yang merupakan kerangka environmental ethics Islamic paling komprehensif dalam Bahasa Indonesia.
Aplikasi Modern: Evidence-based Islamic environmental advocacy. Ketika pejabat pemerintah atau leader bisnis bertanya “Apa yang Islam katakan tentang kebijakan lingkungan ini?”—karya Nasaruddin Umar menyediakan jawaban yang authoritative dan berbasis Qur’an.
Implikasi Kebijakan dan Aksi Kolektif
Ekoteologi Islam bukan hanya tentang pemahaman individual—ini tentang transformasi sistemik. Bagaimana pemerintah, perusahaan, dan komunitas dapat mengambil tindakan kolektif berbasis prinsip-prinsip ekoteologi Islam?
Rekomendasi untuk Pemerintah
Pemerintah Indonesia dapat:
- Integrate Islamic environmental principles dalam policy framework
- Qur’an dan Hadith sebagai foundation (bukan hanya barat-sentrik sustainability goals)
- Authority dari 87% populasi Muslim = legitimasi budaya yang kuat
- Ciptakan standar “Halal + Berkelanjutan”
- Sertifikasi halal includes sustainability standards, bukan hanya prosedur ritual
- Market incentive untuk perusahaan menjadi halal AND hijau
- Dukung Inisiatif “Pesantren Hijau”
- Fund replication dari model Pesantren Hijau Nurul Ilmi
- Environmental education sebagai bagian dari pendidikan Islamic
- Include Ulama Muslim dalam Climate Committees
- Climate policy membutuhkan input theological, bukan hanya sains
- Ulama seperti Nasaruddin Umar dapat menyediakan framework Islamic
- Fund Islamic Environmental Research
- University research tentang ekoteologi Islam dan aplikasinya
- Build infrastructure intelektual untuk Islamic environmentalism
Rekomendasi untuk Perusahaan
Perusahaan dapat:
- Adopt Islamic CSR Frameworks
- CSR bukan hanya PR—grounded dalam nilai-nilai Islamic (khalifah, amanah)
- Lebih authentic, lebih motivating untuk karyawan Muslim
- Transparent Supply Chains (Halal + Berkelanjutan)
- Audit: Apakah produk ini halal AND dibuat tanpa environmental damage?
- Consumer empowerment: Pilih secara ethical
- Employee Environmental Education
- Workshop tentang ekoteologi Islamic untuk workforce
- Menghubungkan nilai Islamic dengan corporate environmental goals
- Support Muslim Environmental Organizations
- Partnership dengan WALHI, Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan
- Employee volunteer opportunities
- Measure Impact Through Islamic Values Lens
- Bukan hanya carbon reduction, tetapi juga: Apakah ada community benefit? Intergenerational justice? Fair wages?
Rekomendasi untuk Individu
Individu dapat:
- Integrate the 7 Practical Ways (dibahas di atas)
- Pilih satu, commit, kemudian expand
- Bergabunglah dengan Komunitas Muslim Lingkungan
- Komunitas > aksi individu (kekuatan kolektif)
- Temukan chapter lokal atau mulai satu
- Educate Keluarga & Teman Menggunakan Islamic Frame
- Share ayat, hadith, cerita
- Buat environmentalism “Islamic”, bukan hanya “trendy”
- Buat Pilihan Konsumsi Align dengan Amanah
- Sebelum membeli: Apakah ini halal + berkelanjutan?
- Long-term thinking: Apa yang saya tinggalkan untuk cucu saya?
- Partisipate dalam Policy Advocacy
- Contact representatives
- Support kampanye organisasi Muslim lingkungan
- Vote dengan lingkungan dalam pikiran
FAQ: 15 Pertanyaan Umum tentang Ekoteologi Islam
Q1: Apakah melindungi lingkungan adalah kewajiban Islam (wajib)?
A: Ya. Ini bukan optional—melindungi amanah Allah adalah wajib berdasarkan Qur’an (Al-Rum 30:41) dan contoh dari Nabi Muhammad. Tingkat kewajiban mungkin berbeda untuk individu versus pemerintah, tetapi prinsipnya jelas: Muslim harus menjaga lingkungan.
Q2: Bolehkah Muslim bergabung dengan organisasi lingkungan non-Muslim?
A: Ya. Prinsip Islamic adalah kerjasama dalam kebaikan. Selama organisasi tidak bertentangan dengan prinsip Islam (misalnya, mendukung desacralization alam), Muslim dapat dan harus berkolaborasi. Bahkan bisa menjadi kesempatan untuk membawa perspektif Islamic.
Q3: Bagaimana saya tahu konsumsi saya halal AND berkelanjutan?
A: Tanya 3 pertanyaan: (1) Apakah ini bersertifikat halal? (2) Apakah produksinya environmentally responsible? (3) Apakah supply chain ethical (upah adil, tidak ada eksploitasi)? Jika ya untuk ketiga, konsumsi Anda aligned dengan nilai Islamic.
Q4: Apakah Islam menolak kemajuan teknologi untuk alasan lingkungan?
A: Tidak. Islam mendukung teknologi yang membawa kemaslahatan. Justru, energi terbarukan, sustainable agriculture tech, adalah “alat” yang baik. Islam menolak teknologi yang digunakan untuk eksploitasi/kerusakan—bukan teknologi per se.
Q5: Bagaimana saya ajarkan Islamic environmentalism kepada anak?
A: Mulai dengan storytelling Qur’ani dan hadith praktis. “Nabi pernah menanam pohon. Kamu mau seperti Nabi?” Libatkan mereka dalam 7 cara praktis (penanaman, pengurangan limbah, konservasi air). Buat ini menyenangkan + spiritual, bukan hanya ceramah.
Q6: Apakah Islamic untuk tidak percaya climate change?
A: Tidak. Qur’an jelas: “Kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia” (Al-Rum 30:41). Climate change adalah manifestasi modern dari ayat ini. Muslim yang menolak climate science menolak Qur’an mereka sendiri.
Q7: Bagaimana saya balance kebutuhan ekonomi dengan environmental stewardship?
A: Islam menawarkan konsep mizan (balance). Tidak perlu memilih ekonomi OR lingkungan. Sustainable businesses membuktikan: Keduanya possible. Contoh: Pertanian organik = lebih profitable jangka panjang. Green tech = pasar baru + lapangan kerja baru.
Q8: Apa Qur’an katakan tentang hak-hak hewan dalam relasi dengan lingkungan?
A: Qur’an secara eksplisit melindungi hewan. Qur’an menceritakan hewan punya komunitas seperti manusia (Al-An’am 6:38). Mistreatment hewan adalah dosa. Livestock intensive farming yang mistreat animals = melanggar prinsip Islamic PLUS environmental damage.
Q9: Apakah composting aligned dengan Islamic principles?
A: Ya, absolutely. Composting adalah praktik khalifah yang baik:
- Reduces waste (anti-israf)
- Restores soil health (stewardship)
- Efficient use of resources (mizan)
Tidak ada masalah Islamic sama sekali.
Q10: Bagaimana saya buat bisnis saya sustainable dari perspektif Islamic?
A: Audit 3 hal: (1) Supply chain ethical + sustainable? (2) Produk/service membawa kemaslahatan (maslahat) untuk masyarakat? (3) Profit dialokasikan ethically (zakat, community investment, research)? Jika ya, bisnis Anda adalah Islamic business dengan environmental consciousness.
Q11: Apakah Islamic environmentalism memerlukan vegetarianisme?
A: Tidak required. Islam memperbolehkan makan daging dengan kondisi: (1) Halal slaughter (minimize suffering), (2) Sustainable sourcing (tidak industrial mass farming), (3) Gratitude to Allah. Vegetarianisme optional—namun reducing meat consumption = environmental good.
Q12: Bagaimana Islamic ecotheology berbeda dari environmental philosophy Barat?
A: Key differences:
- Barat: Sering sekular + rights-based. Islam: Spiritual + responsibility-based
- Barat: Alam punya intrinsic value. Islam: Alam punya value karena Allah menciptakannya
- Barat: Individual choice. Islam: Community + collective responsibility (umma)
- Barat: Future-focused. Islam: Also spiritually-focused (accountability kepada Allah now)
Q13: Apa peran perempuan dalam gerakan Islamic environmental?
A: Sangat penting. Dalam Islamic history, perempuan adalah environmental leaders. Sebagai ibu, pendidik, manager rumah tangga—mereka punya pengaruh besar pada sustainable choices. Article Mubadalah highlights eco-feminism angle.
Q14: Bagaimana masjid bisa menjadi environmental leader?
A: Masjid dapat: (1) Install solar panels (reduce energy bills) (2) Buat garden (vegetables untuk komunitas) (3) Host workshops tentang Islamic ecotheology (4) Lead community cleanups setelah Jumu’ah (5) Educate congregation tentang environmental hadith. Masjid = platform untuk environmental mobilization.
Q15: Di mana saya bisa belajar lebih lanjut tentang Islamic environmental teachings?
A: Resources:
- Books: Nasaruddin Umar “Konservasi Lingkungan dari Perspektif Islam”
- Websites: WALHI.or.id, Kemenag.go.id (ICIEFE 2025 declaration)
- Organizations: Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan, pesantren lokal
- https://scholar.google.com/Scholars: YouTube channels tentang Quranic environmentalism
- Communities: Join local Islamic environmental groups (atau mulai satu jika belum ada)
Kesimpulan: Dari Pemahaman ke Aksi
Ekoteologi Islam bukan teologi novel. Ini adalah return ke fondasi Islam yang selalu ada. Tauhid mengajarkan: Allah adalah pemilik sejati; manusia adalah steward. Khalifah mengajarkan: Stewardship adalah tanggung jawab aktif dan accountable. Amanah mengajarkan: Kita adalah trustee untuk generasi mendatang.
Ketiga pilar ini—yang fundamental dalam Islamic belief—memiliki implikasi langsung pada bagaimana kita memperlakukan lingkungan. Ini bukan “add-on” untuk Islam modern. Ini adalah Islam fundamental yang relevan dengan krisis saat ini.
Momen Kritis Kami
Kita berada di titik kritis. Krisis iklim global mempercepat dengan laju yang alarming. Indonesia kehilangan hutan dengan kecepatan menakutkan. Air tawar menjadi semakin langka. Pada waktu yang sama, upaya-upaya environmentalism sekular tampak tidak cukup untuk mobilisasi miliaran Muslim global.
Ekoteologi Islam menawarkan kerangka DAN motivasi yang dapat mobilisasi Muslim dari berbagai latar belakang, pendidikan, ekonomi—semua united dalam iman mereka. Ini bukan hanya tentang lingkungan. Ini tentang menghadirkan kembali jiwa spiritual Islam ke dalam hubungan kita dengan creation.
Peran Anda
Dari pemahaman ke aksi. Anda telah membaca artikel ini. Anda sudah memahami prinsip-prinsip. Sekarang: Pilih SATU dari 7 cara praktis. Lakukan minggu ini. Ajak satu teman/keluarga. Mulai dari sini.
Effect multiplier: Jika 10 juta Muslim menerapkan ekoteologi Islam dalam kehidupan sehari-hari, dampaknya akan transformatif untuk Indonesia dan dunia. Tidak perlu menunggu pemerintah. Tidak perlu menunggu perusahaan besar. Perubahan dimulai dengan pilihan individual yang guided oleh prinsip-prinsip Islamic yang mendalam.
Resources dan Langkah Berikutnya
- Download “7 Practical Ways Checklist” (PDF) untuk guidance Anda
- Subscribe ke newsletter kami untuk weekly Islamic environmental tips
- Bergabunglah dengan Komunitas Muslim Pecinta Lingkungan—[link ke Instagram]
- Rekomendasikan artikel ini ke 5 teman/keluarga
- Support WALHI atau Pesantren Hijau—[links provided]
- Mulai kecil: Mindful consumption bulan ini
Ekoteologi Islam adalah panggilan. Allahu a’lam (Allah knows best), tetapi kami percaya bahwa setiap Muslim memiliki peran untuk dimainkan dalam melindungi creation Allah. Mari kita mulai hari ini.
Artikel ini adalah living document yang akan terus diupdate dengan research terbaru, case studies baru, dan insights dari komunitas Muslim environmental. Jika Anda punya cerita atau resource untuk dibagikan, hubungi kami.












One Comment