Pengantar: Mengapa Perbandingan Ini Penting?
Dalam wacana keagamaan Indonesia kontemporer, dua istilah sering digunakan secara bergantian namun sebenarnya memiliki makna yang berbeda:ย moderasi beragamaย danย wasathiyyah. Kebingungan ini bukan hanya sekedar perbedaan terminologi akademis, melainkan memiliki implikasi praktis yang signifikan bagi bagaimana kita memahami, mengajarkan, dan menerapkan nilai-nilai toleransi dan keseimbangan dalam kehidupan beragama.
Moderasi Beragamaย adalah istilah modern yang diperkenalkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai bagian dari program nasional untuk mempromosikan harmoni sosial di tengah kemajemukan agama dan budaya. Istilah ini berfokus pada bagaimana semua pemeluk agamaโbukan hanya Islamโdapat menjalankan keyakinan mereka dengan cara yang menghormati keberagaman dan tidak mengganggu ketertiban sosial.
Sebaliknya,ย wasathiyyahย adalah konsep klasik yang berasal dari tradisi Islamic scholarship, merujuk pada jalan tengah atau moderasi dalam beragama menurut perspektif Islam. Istilah ini memiliki fondasi qur’ani yang kuat dan telah dikembangkan oleh para ulama selama berabad-abad.
Pertanyaannya yang penting adalah: Apa perbedaan fundamental antara keduanya? Apakah keduanya bisa digunakan bersamaan? Mana yang lebih tepat untuk konteks Indonesia yang plural? Artikel ini akan memberikan jawaban komprehensif dengan analisis mendalam, perspektif ulama, dan implikasi praktis untuk masyarakat, pendidik, dan para da’i.

1. Moderasi Beragama: Pengertian & Konteks Government Lens
1.1 Definisi Moderasi Beragama Menurut Kemenag
Moderasi beragamaย adalah cara pandang atau sikap selalu mengambil jalan tengah dan menghindari sikap ekstrem dalam menjalankan ajaran agama. Definisi ini secara resmi diadopsi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai bagian dari kebijakan nasional yang dimulai sejak 2020.
Lebih spesifik, moderasi beragama bukan hanya sekadar “tidak ekstrem”, melainkan suatu pendekatan holistik yang mengintegrasikan tiga dimensi penting:
- Dimensi Aqidah (Keyakinan): Tidak melemahkan keyakinan agama seseorang, namun menghormati keyakinan orang lain yang berbeda.
- Dimensi Sosial-Budaya: Menjalankan ibadah agama dengan cara yang menghormati tradisi lokal, nilai-nilai budaya setempat, dan praktik-praktik yang sudah berakar di masyarakat.
- Dimensi Kebangsaan: Memprioritaskan persatuan bangsa, mematuhi konstitusi dan hukum negara, serta tidak menggunakan agama sebagai alat untuk fragmentasi sosial atau destabilisasi politik.
Penting untuk dicatat bahwa moderasi beragama bukan berarti relativisme agama (seolah semua agama sama), melainkan respek mutual terhadap hak setiap orang untuk menjalankan agama mereka.
1.2 Sejarah & Latar Belakang Moderasi Beragama di Indonesia
Konsep moderasi beragama di Indonesia mulai dipromosikan secara intens sejak 2020, bersamaan dengan peningkatan isu radikalisme dan ujaran kebencian di ruang digital. Namun, akar-akar pemikiran ini sudah ada dalam praktik keagamaan Indonesia sejak dulu, terutama dalam tradisi NU dan Muhammadiyah.
Milestone penting:
- 2019: Program “Moderasi Beragama” mulai disosialisasikan oleh Kementerian Agama
- 2020: Peluncuran program nasional dengan penguatan melalui regulasi dan insentif
- 2022-2023: Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama menjadi fondasi hukum yang lebih kuat
- 2025: Moderasi beragama dimasukkan sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029
Pengukuran moderasi beragama di Indonesia dilakukan melalui Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), yang menunjukkan trend positif dari 73,05 (2023) menjadi 76,47 (2025). Indeks ini mengukur tiga dimensi: toleransi, solidaritas sosial, dan kepercayaan kepada institusi.
1.3 Empat Pilar Moderasi Beragama (Resmi Kemenag)
Kementerian Agama merumuskan moderasi beragama melalui empat pilar utama yang menjadi panduan implementasi:
Pilar 1: Komitmen Kebangsaan
Pilar ini menekankan bahwa moderasi beragama harus kompatibel dengan nilai-nilai kebangsaan dan konstitusi. Tidak ada agama yang di atas hukum negara, dan setiap pemeluk agama memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Hal ini bukan berarti agama harus subordinate terhadap negara, melainkan ada harmonisasi antara kewajiban agama dan kewajiban warga negara.
Pilar 2: Toleransi
Toleransi dalam konteks moderasi beragama bukan sekadar “membiarkan” agama lain, melainkan respek aktif terhadap perbedaan. Ini mencakup kemauan untuk hidup berdampingan secara damai, saling menghormati, dan bahkan bekerja sama dalam isu-isu kemanusiaan yang universal seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Pilar 3: Anti-Kekerasan (Non-Violence)
Pilar ini tegas menolak penggunaan kekerasan dalam apa pun namanya atas nama agama. Ini mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomis, maupun diskriminasi sosial. Moderasi beragama memandang kekerasan sebagai antitesis dari ajaran agama manapun.
Pilar 4: Akomodatif terhadap Budaya Lokal
Moderasi beragama mengakui bahwa agama harus beradaptasi dengan konteks budaya lokal, bukan sebaliknya. Ini membuka ruang untuk praktik-praktik lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip agama untuk tetap hidup dan berkembang.
1.4 Tujuan & Target Moderasi Beragama di Indonesia
Tujuan utama program moderasi beragama adalah menciptakan harmoni sosial dan kestabilan nasional di tengah kemajemukan. Target spesifik yang ditetapkan dalam RPJMN 2025-2029:
- Meningkatkan Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) menjadi 78 (dari 76,47 saat ini)
- Mengurangi insiden kekerasan berbasis agama sebesar 50%
- Meningkatkan partisipasi lintas agama dalam program-program komunitas
- Memperkuat konten moderasi beragama di media sosial
- Meningkatkan pemahaman moderasi beragama di institusi pendidikan hingga 90%

2. Wasathiyyah: Pengertian & Konteks Islamic Lens
2.1 Definisi Wasathiyyah dan Etimologi
Wasathiyyahย berasal dari kata Arabย “Wasatha”ย yang berarti “tengah” atau “middle way”. Dalam konteks Islam, wasathiyyah merujuk padaย konsep moderasi, keseimbangan, dan jalan tengah dalam beragamaย menurut ajaran Islam. Namun, konsep ini jauh lebih dalam dan komprehensif daripada sekadar “tidak ekstrem”.
Menurut para ulama klasik dan kontemporer, wasathiyyah bukan hanya tentang perilaku eksternal, melainkan tentang filosofi dan metodologi dalam memahami dan menjalankan Islam. Wasathiyyah adalah tentang mencapai keseimbangan sempurna antara berbagai aspek kehidupan: dunia dan akhirat, kehidupan spiritual dan material, individual dan sosial, akal dan wahyu.
Istilah ini pertama kali muncul secara eksplisit dalam Al-Qur’an, meskipun filosofinya tersebar di berbagai ayat. Paham wasathiyyah telah dikembangkan oleh ulama besar Islam dari berbagai madzhab dan era, termasuk Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Imam Malik, dan ulama kontemporer seperti Prof. M. Quraish Shihab.
2.2 Dasar Qur’ani & Hadis tentang Wasathiyyah
Dasar Qur’ani:
Konsep wasathiyyah memiliki fondasi Qur’ani yang sangat kuat. Ayat yang paling eksplisit adalah:
QS. Al-Baqarah : 143
“Dan demikian (juga) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Dalam ayat ini, kata “wastan” (tengah/jalan tengah) dan “‘adl” (adil) menunjukkan posisi umat Islam sebagai penyeimbang (moderator) di antara berbagai ekstrem.
QS. Al-Furqan : 67
“Dan orang-orang yang apabila menafkahkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara itu.”
Ayat ini menunjukkan wasathiyyah dalam aspek ekonomi dan pengelolaan harta.
QS. An-Nahl : 125
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmat dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan (cara) yang lebih baik.”
Ayat ini menunjukkan wasathiyyah dalam metode dakwahโtidak ekstrem dalam cara menyampaikan pesan Islam.
Dasar Hadis:
Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan contoh nyata wasathiyyah dalam praktik. Beliau tidak ekstrem dalam beribadah, namun juga tidak mengurangi esensi ajaran Islam. Hadis-hadis berikut mencerminkan nilai wasathiyyah:
Dalam sebuah hadis, ketika beberapa sahabat ingin meningkatkan ibadah mereka melebihi apa yang Rasul lakukan, Rasul mengingatkan mereka bahwa keseimbangan adalah kunci. Beliau bersabda bahwa agama Allah adalah agama yang mudah (diin yusur), dan jangan membuat agama menjadi sulit.
2.3 Empat Dimensi Wasathiyyah Menurut Ulama
Para ulama kontemporer, terutama Prof. Muhammad Quraish Shihab dan KH. Muhyiddin Junaidi dari Muhammadiyah, telah mengidentifikasi wasathiyyah dalam empat dimensi utama:
Dimensi 1: Wasathiyyah dalam Aqidah (Keyakinan)
Wasathiyyah dalam aqidah berarti tidak jatuh ke dalam ekstrem ta’teel (menolak sifat-sifat Allah) atau ekstrem tasybeeh (menyamakan Allah dengan makhluk). Keseimbangan ini tercermin dalam pemahaman yang lurus tentang tauhid (unity of God). Seorang Muslim wasathiyyah memahami Allah sesuai dengan cara yang tidak menyimpang ke ekstrem pemahaman liberal atau fundamentalis.
Dimensi 2: Wasathiyyah dalam Syariah (Hukum)
Dalam aspek hukum, wasathiyyah berarti tidak ekstrem dalam interpretasi hukum Islam. Seorang Muslim wasathiyyah tidak akan menolak hukum Islam sama sekali (seperti ekstrem liberal), namun juga tidak akan memaksakan implementasi hukum Islam di luar konteksnya. Wasathiyyah mengakui flexibilitas syariah melalui konsep maslahah (kemaslahatan), darurat (keadaan darurat), dan urf (adat istiadat).
Dimensi 3: Wasathiyyah dalam Akhlak (Moral & Etika)
Wasathiyyah dalam akhlak berarti keseimbangan dalam perilaku moral. Bukan ekstrem dalam kesalehan (sampai bersikap sombong terhadap orang lain), namun juga tidak mengabaikan nilai-nilai moral Islam. Seorang Muslim wasathiyyah akan rendah hati, toleran, namun tetap teguh pada nilai-nilai islami.
Dimensi 4: Wasathiyyah dalam Muamalah (Interaksi Sosial)
Wasathiyyah dalam interaksi sosial berarti keseimbangan antara kehidupan spiritual dan material, antara hak individu dan hak komunitas. Muslim wasathiyyah akan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan ekonomi, namun tidak lupa akan tanggung jawab sosial dan kemanusiaan terhadap sesama.
2.4 Perspektif Organisasi Islam Besar tentang Wasathiyyah
Perspektif Nahdlatul Ulama (NU):
NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah mengembangkan konsep wasathiyyah sebagai bagian dari tradisi intelektual Ahlusunnah Waljamah. NU melihat wasathiyyah sebagai jalan yang telah diprakarsai oleh ulama-ulama awal NU seperti Mbah Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. NU mengakui bahwa wasathiyyah bukan hanya teori, melainkan praktik hidup yang telah dijalankan oleh pesantren-pesantren NU selama puluhan tahun.
Menurut perspektif NU, wasathiyyah mencakup pengakuan terhadap pluralisme agama dan budaya, penggunaan akal dalam ijtihad, serta komitmen terhadap kemaslahatan umat (maslahah mursalah). NU percaya bahwa Islam yang wasathiyyah adalah Islam yang adaptif dengan konteks lokal namun tetap setia pada prinsip-prinsip universal Al-Qur’an dan Sunnah.
Perspektif Muhammadiyah:
Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, juga memiliki konsep sendiri tentang wasathiyyah yang dirumuskan sebagai “Islam Moderat”. Menurut KH. Muhyiddin Junaidi (pengamat pemikiran Muhammadiyah), Muhammadiyah melihat wasathiyyah sebagai hasil dari proses ijtihad yang dinamis dan responsif terhadap kebutuhan zaman.
Muhammadiyah menekankan bahwa wasathiyyah bukan berarti mengorbankan nilai-nilai Islam, melainkan menginterpretasi nilai-nilai tersebut dengan cara yang relevan dengan konteks modern. Hal ini tercermin dalam gerakan Muhammadiyah untuk modernisasi pendidikan Islam, pemberdayaan ekonomi, dan keterlibatan dalam isu-isu sosial.

3. Perbandingan Detail: Moderasi Beragama vs Wasathiyyah
3.1 Tabel Perbandingan Komprehensif
| Aspek | Moderasi Beragama | Wasathiyyah |
|---|---|---|
| Asal Istilah | Modern (2020s), istilah baru dalam kebijakan nasional | Klasik (dari Al-Qur’an & Hadis), istilah berusia 1400+ tahun |
| Scope/Lingkup | Universal untuk semua agama (Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu) | Spesifik untuk Islam dan umatnya |
| Framework | Government policy & secular governance | Theological framework berbasis Islam |
| Inisiator | Kementerian Agama Republik Indonesia | Ulama-ulama Islam klasik & kontemporer |
| Target Audience | Semua pemeluk agama di Indonesia | Umat Muslim |
| 4 Pilar Utama | Komitmen Kebangsaan, Toleransi, Anti-Kekerasan, Akomodatif terhadap Budaya | Aqidah, Syariah, Akhlak, Muamalah |
| Fokus Utama | Harmoni sosial & stabilitas nasional | Keseimbangan dalam penghayatan Islam |
| Fondasi Hukum | Perpres No. 58/2023, RPJMN 2025-2029 | Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas |
| Relasi dengan Negara | Menekankan komitmen kebangsaan & kompatibilitas dengan konstitusi | Menekankan keseimbangan antara dunia & akhirat |
| Implementasi | Top-down (dimulai dari kebijakan pemerintah) | Bottom-up (dari tradisi pesantren & komunitas Islam) |
| Durasi/Kelestarian | Relatif baru, bergantung pada kontinuitas kebijakan | Sudah proven selama berabad-abad |
| Fleksibilitas | Lebih fleksibel terhadap adaptasi konteks lokal (lintas agama) | Fleksibel namun tetap dalam koridor Islam (ijtihad) |
3.2 Perbedaan Fundamental antara Keduanya
Perbedaan 1: Scope dan Target Audience
Perbedaan paling fundamental adalah scope. Moderasi beragama adalah konsep yang universal dan mencakup semua agama, sedangkan wasathiyyah adalah konsep yang spesifik untuk Islam.
Moderasi beragama dirancang untuk menjadi payung bersama di mana seorang Kristen, Muslim, Hindu, Budha, dan Konghucu di Indonesia dapat bersama-sama menjalankan agama mereka dengan cara yang moderat dan tidak saling merusak. Wasathiyyah, sebaliknya, adalah panduan khusus bagi umat Muslim tentang bagaimana menjalankan Islam dengan cara yang seimbang dan tidak ekstrem.
Perbedaan 2: Asal-usul dan Fondasi
Moderasi beragama adalah istilah baru yang dikembangkan untuk merespons tantangan kontemporer (radikalisme, polarisasi di media sosial, ujaran kebencian). Istilah ini lahir dari kebutuhan praktis pemerintah Indonesia untuk menciptakan kerangka kerja bersama dalam mempromosikan harmoni sosial.
Wasathiyyah, sebaliknya, memiliki akar yang dalam dalam tradisi Islam. Konsep ini bukan ciptaan ulama modern, melainkan pengembangan dari nilai-nilai yang sudah ada dalam Al-Qur’an dan Hadis sejak 1400 tahun lalu.
Perbedaan 3: Framework dan Metodologi
Moderasi beragama menggunakan framework governance dan policy. Ia diukur melalui indeks terukur (Indeks Kerukunan Umat Beragama), diimplementasikan melalui regulasi pemerintah, dan dievaluasi melalui metriks sosial.
Wasathiyyah menggunakan framework theological. Ia diukur melalui kualitas pemahaman Islam seseorang, diimplementasikan melalui edukasi pesantren dan pembelajaran Islam, dan dievaluasi melalui moralitas dan perilaku individu Muslim.
Perbedaan 4: Implementasi (Top-Down vs Bottom-Up)
Moderasi beragama adalah pendekatanย top-downย yang dimulai dari kebijakan pemerintah, kemudian disosialisasikan ke masyarakat melalui berbagai program. Pemerintah, melalui Kemenag, adalah inisiator utama.
Wasathiyyah adalah pendekatan bottom-up yang telah hidup dalam praktik pesantren dan komunitas Muslim selama berabad-abad. Inisiatifnya datang dari ulama dan komunitas Muslim sendiri, bukan dari pemerintah.
Perbedaan 5: Relasi dengan Negara
Moderasi beragama menekankan komitmen kebangsaan sebagai salah satu pilarnya. Artinya, agama harus kompatibel dengan nilai-nilai negara (konstitusi, hukum positif, identitas nasional).
Wasathiyyah tidak menekankan relasi dengan negara. Wasathiyyah fokus pada keseimbangan dalam Islam itu sendiri, khususnya antara kehidupan dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu.
3.3 Kesamaan dan Komplementaritas
Meskipun berbeda, moderasi beragama dan wasathiyyah memiliki kesamaan prinsipil yang penting:
Kesamaan 1: Keduanya Anti-Ekstremisme
Baik moderasi beragama maupun wasathiyyah sama-sama menolak ekstremisme dalam apapun bentuknya. Keduanya percaya bahwa jalan tengah adalah jalan yang benar, baik dalam konteks interaksi antar agama (moderasi beragama) maupun dalam konteks penghayatan agama (wasathiyyah).
Kesamaan 2: Keduanya Mempromosikan Toleransi
Moderasi beragama mempromosikan toleransi lintas agama. Wasathiyyah mempromosikan toleransi dalam konteks Islam itu sendiri (antara berbagai madzhab dan interpretasi). Keduanya memiliki DNA toleransi.
Kesamaan 3: Keduanya Berorientasi pada Kemaslahatan Umat
Moderasi beragama berorientasi pada kemaslahatan nasional (stabilitas, harmoni sosial, pembangunan). Wasathiyyah berorientasi pada kemaslahatan umat Muslim (kebahagiaan dunia-akhirat, keberkahan hidup). Keduanya pragmatis dan berorientasi pada hasil yang baik.
Kesamaan 4: Keduanya Bersifat Dinamis dan Adaptif
Moderasi beragama tidak statikโia berkembang sesuai dengan tantangan zaman (sebelumnya fokus radikalisme offline, sekarang fokus pada media sosial). Wasathiyyah juga dinamisโtelah berkembang dari konteks Madinah abad 7 hingga Indonesia abad 21, disesuaikan dengan konteks lokal namun tetap pada intinya.
Komplementaritas:
Yang menarik adalah bahwa keduanya bersifat komplementer, bukan mutually exclusive. Seorang Muslim wasathiyyah akan otomatis menjalankan moderasi beragama dalam interaksi dengan non-Muslim. Demikian pula, implementasi moderasi beragama akan lebih kuat jika didukung oleh pemahaman Islam yang wasathiyyah.
Dengan kata lain:
- Wasathiyyahย = moderasiย dalamย agama
- Moderasi Beragamaย = moderasiย antarย agama
Keduanya sama-sama dibutuhkan untuk menciptakan harmoni sosial yang sustainable di Indonesia yang plural.
4. Perspektif Ulama & Akademisi tentang Dua Konsep
4.1 Perspektif KH. Muhyiddin Junaidi (Muhammadiyah)
KH. Muhyiddin Junaidi, seorang pemikir Muhammadiyah yang vokal tentang Islam moderat, menekankan bahwa wasathiyyah adalah lebih dalam dari moderasi beragama. Menurutnya, moderasi beragama bisa jadi superfisial jika tidak didukung oleh pemahaman Islam yang mendalam.
Ia mengatakan bahwa seorang Muslim bisa saja terlihat moderat secara eksternal (tidak membenci agama lain, tidak melakukan kekerasan) namun hatinya penuh dengan prejudice dan ketidaktoleransian. Sebaliknya, seorang Muslim yang wasathiyyah akan secara otomatis bersikap moderat karena pemahaman Islamnya yang benar.
Junaidi juga menekankan bahwa “wasathiyyah bukan relativisme agama”. Wasathiyyah bukan berarti “semua agama sama” atau “tidak ada kebenaran mutlak dalam agama”. Sebaliknya, wasathiyyah adalah tentang “menjadi yakin dengan agama sendiri namun menghormati keyakinan orang lain“. Perbedaan ini penting karena sering terjadi kesalahpahaman bahwa Islam moderat berarti Islam yang “longgar” atau “tidak teguh”.
4.2 Perspektif Prof. M. Quraish Shihab
Prof. M. Quraish Shihab, salah satu mufassir (penafsir Qur’an) paling terkenal di Indonesia, mengartikan wasathiyyah sebagai “seimbang dan adil” bukan hanya dalam penghayatan agama, tetapi juga dalam pengetahuan dan pemahaman.
Shihab menekankan bahwa wasathiyyah adalah metode berpikir dan bertindak, bukan hanya sekedar “tidak ekstrem”. Wasathiyyah berarti:
- Tidak mengambil satu aspek agama dan mengabaikan aspek lainnya
- Melihat Islam secara holistik dan utuh
- Mempertimbangkan konteks dan situasi dalam menerapkan hukum Islam
- Tidak fanatisme buta terhadap satu pandangan atau madzhab
Shihab juga menekankan bahwa wasathiyyah kompatibel dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Muslim wasathiyyah tidak akan menolak sains atau teknologi atas nama agama, namun akan menggunakannya untuk kebaikan umat.
4.3 Perspektif Kementerian Agama
Menurut dokumen resmi Kemenag,ย moderasi beragama adalah poin temuย di mana semua agama dapat bertemu di atas fondasi yang sama: menjalankan agama dengan cara yang damai, tidak menggunakan agama untuk kekerasan, dan menghormati keberagaman.
Kemenag tidak memandang moderasi beragama sebagai alternative atau kompetitor terhadap wasathiyyah. Sebaliknya, Kemenag melihat wasathiyyah (dan konsep serupa di agama lain) sebagaiย spiritual foundationย yang memperkuat implementasi moderasi beragama.
Dalam dokumen RPJMN 2025-2029, Kemenag secara eksplisit menyebutkan bahwa program moderasi beragama akanย memperkuat nilai-nilai wasathiyyah dalam Islam, nilai-nilai harmoni dalam Kristen, nilai-nilai ahimsa dalam Budha, dan seterusnya.
4.4 Perspektif NU (Nahdlatul Ulama)
NU memandang wasathiyyah sebagai warisan intelektual NU yang asli. Menurut perspektif NU, tokoh-tokoh pendiri NU seperti Mbah Hasyim Asy’ari dan KH. Hasyim Muzadi sudah menjalankan prinsip wasathiyyah dalam konteks Indonesia sejak awal abad 20.
NU melihat moderasi beragama sebagai ektualisasi kontemporer dari nilai-nilai wasathiyyah yang sudah dipahami NU sejak lama. Dengan kata lain, NU tidak perlu “belajar” moderasi beragama dari pemerintah, tetapi lebih tepatnya “merekognisi” nilai-nilai yang sudah ia jalani dalam bentuk program pemerintah yang lebih terstruktur.
4.5 Debat Akademis: Apakah Moderasi Beragama Bisa Jadi Relativisme?
Ada debat akademis penting yang perlu diketahui: Apakah moderasi beragama bisa jatuh ke dalam relativisme agama?
Beberapa kritikus khawatir bahwa jika moderasi beragama dipahami sebagai “tidak ada kebenaran mutlak” atau “semua agama sama”, maka hal ini akan merusak fondasi religius dari pemeluk agama itu sendiri. Kekhawatiran ini tidak tanpa alasan.
Namun, wasathiyyah menawarkan safeguard terhadap relativisme ini. Dengan mempertahankan pemahaman yang kuat tentang kebenaran agama sendiri (aqidah yang solid), wasathiyyah mencegah jatuhnya moderasi beragama ke dalam relativisme. Seorang Muslim wasathiyyah akan tetap yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, namun pada saat yang sama, ia menghormati hak orang lain untuk menjalankan agama mereka.
Inilah mengapa kombinasi dari wasathiyyah (dalam) + moderasi beragama (antar) adalah formula terbaik untuk Indonesia yang plural.
5. Mana yang Tepat untuk Indonesia?
5.1 Konteks Pluralisme Indonesia
Indonesia adalah negara dengan tingkat keragaman religius yang sangat tinggi. Menurut Sensus 2020:
- Muslim: 87%
- Kristen Protestan: 7%
- Katolik: 3%
- Hindu: 1,7%
- Budha: 0,8%
- Konghucu: 0,05%
Namun, keragaman ini tidak hanya vertikal (berbagai agama), tetapi juga horizontal (berbagai interpretasi dalam satu agama). Di dalam Islam saja, ada puluhan aliran, madzhab, dan interpretasi yang berbeda.
Dalam konteks ini, pertanyaan yang tepat bukan “mana yang lebih benar” melainkan “apa yang paling dibutuhkan saat ini“.
5.2 Kebutuhan Policy vs Theological Grounding
Untuk mengatasi tantangan kontemporer seperti:
- Radikalisme dan terorisme atas nama agama
- Ujaran kebencian di media sosial
- Polarisasi antar agama
- Intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat
…yang paling dibutuhkan adalah framework kebijakan yang jelas dan terukur, yaitu moderasi beragama.
Namun, untuk sustainability jangka panjang, framework kebijakan ini perlu didukung oleh grounding theological yang kuat, yaitu pemahaman wasathiyyah (dan konsep serupa di agama lain).
5.3 Praktik di Lapangan: Kampung Moderasi Beragama vs Pesantren Wasathiyyah
Kampung Moderasi Beragama:
Kemenag telah menunjuk ratusan “kampung moderasi beragama” di seluruh Indonesia sebagai pilot project. Contoh terkenal adalah Kampung Toabo di Sulbar dan Desa Bedono di Jawa Tengah. Di kampung-kampung ini, implementasi moderasi beragama tampak melalui:
- Forum dialog lintas agama rutin
- Gotong royong lintas agama dalam pembangunan infrastruktur
- Perayaan bersama hari-hari penting
- Resolusi konflik yang objektif dan damai
- Program pendidikan tentang toleransi di sekolah
Metrik keberhasilan diukur melalui Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB), dengan hasil yang positif menunjukkan peningkatan harmoni sosial.
Pesantren Wasathiyyah:
Sementara itu, pesantren-pesantren Islam yang mengadopsi filosofi wasathiyyah menunjukkan praktik yang berbeda, meskipun hasil akhirnya serupa. Di pesantren wasathiyyah:
- Pembelajaran Islam yang mendalam dan balanced
- Pendidikan tentang berbagai madzhab dan interpretasi
- Pengajaran soft skills dan entrepreneurship (tidak hanya agama)
- Keterlibatan dalam isu-isu sosial dan lingkungan
- Lulusan yang bisa beradaptasi dengan modernitas tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam
Metrik keberhasilan diukur melalui kualitas moral dan kontribusi sosial alumni pesantren.
Kesimpulannya: Kedua-duanya sama-sama efektif dalam konteks mereka masing-masing. Perbedaannya adalah pada level implementasi dan target audience, bukan pada substansi nilai-nilainya.
5.4 Rekomendasi: Menggunakan Keduanya Secara Integrated
Untuk Indonesia, rekomendasi terbaik adalah menggunakan moderasi beragama dan wasathiyyah secara integrated, bukan memilih salah satu:
Level Kebijakan Nasional:
Gunakan framework moderasi beragama untuk:
- Membuat regulasi dan kebijakan yang inklusif
- Mengukur harmoni sosial melalui indeks terukur
- Menciptakan program dialog lintas agama
- Mengatasi ujaran kebencian dan radikalisme
Level Spiritual & Komunitas:
Gunakan pemahaman wasathiyyah (dan konsep serupa di agama lain) untuk:
- Memperkuat pemahaman agama yang benar dan seimbang
- Menciptakan masyarakat yang religius namun toleran
- Membangun kepribadian yang integrated antara dunia dan akhirat
- Mencegah jatuhnya moderasi menjadi relativisme
Level Pendidikan:
Integrasikan keduanya dalam kurikulum pendidikan:
- Ajarkan nilai-nilai wasathiyyah dalam pelajaran agama
- Ajarkan nilai-nilai moderasi beragama dalam pelajaran kewarganegaraan
- Ciptakan dialog antar agama di sekolah
Dengan pendekatan integrated ini, Indonesia dapat membangun masyarakat yang religius (wasathiyyah), toleran (moderasi), dan harmonis (integrated).
6. FAQ: Pertanyaan Umum yang Sering Diajukan
Q1: Apakah Wasathiyyah Lebih Islami daripada Moderasi Beragama?
Jawab: Tidak tepat membandingkan dengan metrik “lebih Islami”. Wasathiyyah adalah panduan internal bagi Muslim tentang bagaimana menjalankan Islam dengan benar. Moderasi beragama adalah framework bersama bagi semua agama tentang bagaimana hidup bersama secara damai.
Keduanya berbeda tingkatannya. Wasathiyyah adalah lebih pada level spiritual individual, sementara moderasi beragama adalah pada level social integration.
Analogi sederhana: Wasathiyyah adalah seperti “bagaimana seorang Muslim yang baik”, sedangkan moderasi beragama adalah “bagaimana Muslim dan non-Muslim bisa hidup bersama dengan baik”.
Q2: Bisakah Keduanya Digunakan Bersamaan?
Jawab: Tidak hanya bisa, tetapi harus digunakan bersamaan untuk hasil yang optimal. Wasathiyyah tanpa moderasi beragama bisa menjadi egois religius (terlalu fokus pada agama sendiri). Moderasi beragama tanpa wasathiyyah bisa menjadi relativisme (mengorbankan identitas agama).
Kombinasi keduanya menciptakan formula ideal: “Saya teguh dengan agama saya (wasathiyyah), namun menghormati agama Anda (moderasi beragama)”.
Q3: Apakah Moderasi Beragama Melemahkan Iman?
Jawab: Tidak. Ini adalah miskonsepi umum. Moderasi beragama bukan tentang “mengorbankan iman”, melainkan tentang “tidak menggunakan iman sebagai alat untuk melukai orang lain“.
Seorang Muslim yang moderat bisa saja memiliki iman yang sangat kuat. Perbedaannya adalah bahwa ia tidak akan memaksa orang lain untuk memiliki iman yang sama, dan tidak akan menggunakan agamanya sebagai pembenaran untuk kekerasan.
Sebenarnya, dari perspektif Islamic theology sendiri, iman yang sejati adalah iman yang moderasi (wasathiyyah). Al-Qur’an menyuruh umat Muslim untuk menjadi umat yang adil, bukan ekstrem.
Q4: Bagaimana Cara Menerapkan Wasathiyyah dalam Kehidupan Sehari-hari?
Jawab: Penerapan wasathiyyah dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
- Dalam Ibadah: Tidak ekstrem dalam menjalankan ibadah. Beribadah dengan khidmat, namun tidak sampai mengorbankan keluarga atau pekerjaan.
- Dalam Harta: Tidak boros dan tidak pelit. Membelanjakan harta dengan bijak, membantu yang membutuhkan, namun tetap menjaga kesejahteraan diri sendiri dan keluarga.
- Dalam Berinteraksi: Ramah dengan semua orang, tidak membeda-bedakan, namun tetap menjaga prinsip Islam.
- Dalam Berilmu: Menggunakan akal untuk memahami agama, tidak blind following (taklid buta), namun juga tidak sombong menganggap diri lebih tahu dari ulama.
- Dalam Politik: Memilih pemimpin yang adil, tidak memaksakan calon favoritnya, tetapi tetap mengontrol penguasa agar sesuai syariah.
Q5: Apakah Tokoh Historis Islam Menjalankan Wasathiyyah?
Jawab: Ya, banyak. Tokoh-tokoh seperti Rasulullah Muhammad SAW, para sahabat, dan ulama-ulama besar Islam menunjukkan prinsip wasathiyyah dalam hidup mereka.
Contoh: Rasulullah SAW adalah seorang entrepreneur yang sukses (harta), namun juga seorang spiritual leader (agama). Beliau tidak memisahkan keduanya, melainkan mengintegrasikan dengan seimbang. Ini adalah wasathiyyah.
Begitu juga dengan tokoh-tokoh NU seperti Mbah Hasyim Asy’ari, KH. Hasyim Muzadi, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang membuktikan bahwa Islam yang wasathiyyah adalah Islam yang berkontribusi nyata kepada bangsa dan dunia.
7. Kesimpulan & Rekomendasi Praktis
Setelah analisis mendalam tentang moderasi beragama dan wasathiyyah, kita dapat menyimpulkan beberapa hal penting:
7.1 Ringkasan Perbedaan & Kesamaan
Perbedaan Utama:
- Moderasi beragamaย adalah framework kebijakan publik yang universal (untuk semua agama)
- Wasathiyyahย adalah filosofi spiritual Islam tentang keseimbangan
Kesamaan Utama:
- Keduanya menolak ekstremisme
- Keduanya mempromosikan toleransi
- Keduanya berorientasi pada kemaslahatan
- Keduanya dinamis dan adaptif
Hubungan Keduanya:
- Komplementer, bukan kompetitor
- Wasathiyyah = jembatan menuju moderasi beragama
- Moderasi beragama = ekspresi publik dari wasathiyyah
7.2 Implikasi untuk Berbagai Stakeholder
Untuk Pendidik & Guru:
Ajarkan nilai-nilai wasathiyyah dalam pendidikan agama, dan integrasikan dengan moderasi beragama dalam pendidikan kewarganegaraan. Ciptakan lingkungan belajar yang mendukung kedua nilai ini.
Untuk Da’i & Tokoh Agama:
Promosikan pemahaman Islam yang wasathiyyah, bukan hanya “moderat di permukaan”. Jelaskan bahwa wasathiyyah adalah ajaran Islam yang autentik, bukan inovasi modern.
Untuk Pemimpin Masyarakat & Pemerintah:
Dukung program moderasi beragama melalui kebijakan dan regulasi, namun juga dukung strengthening nilai-nilai wasathiyyah (dan konsep serupa di agama lain) melalui pendidikan dan pemberdayaan komunitas.
Untuk Generasi Muda:
Pahami bahwa Islam yang asli adalah Islam yang moderat (wasathiyyah), dan bahwa merangkul moderasi beragama bukan berarti mengorbankan iman, melainkan merepresentasikan iman yang sejati.
7.3 Rekomendasi untuk Implementasi Kedepannya
- Sosialisasi Integrated: Kemenag perlu melakukan sosialisasi yang jelas bahwa moderasi beragama dan wasathiyyah (serta konsep serupa di agama lain) adalahย dua sisi dari satu koin.
- Penguatan Pendidikan: Integrasikan pembelajaran wasathiyyah dan moderasi beragama di semua level pendidikan, dari SD hingga universitas.
- Dukungan pada Organisasi Masyarakat: Dukung pesantren wasathiyyah, organisasi Islam moderat (NU, Muhammadiyah), dan organisasi keagamaan lainnya yang konsisten dengan nilai-nilai moderasi.
- Dialog Berkelanjutan: Fasilitasi dialog yang berkelanjutan antara para ulama, akademisi, dan masyarakat tentang implementasi kedua konsep ini.
- Monitoring & Evaluasi: Terus monitor progress melalui Indeks Kerukunan Umat Beragama dan metrik lainnya, sambil juga mengevaluasi dampak spiritual dari program-program ini.
7.4 Pesan Akhir
Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menunjukkan kepada dunia bahwa pluralisme dan religiusitas bisa berjalan beriringan. Caranya adalah dengan memperkuat kedua konsep ini secara integrated: wasathiyyah sebagai fondasi spiritual dan moderasi beragama sebagai ekspresi publik.
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya akan memiliki masyarakat yang harmonis (moderasi beragama), tetapi juga masyarakat yang religius dan bermoral (wasathiyyah dan konsep serupa di agama lain). Ini adalah visi Indonesia yang plural, religius, dan demokratis sekaligusโsesuatu yang banyak negara menginginkan namun sulit dicapai.
Kunci kesuksesan ada di tangan kita: generasi muda, pendidik, pemimpin agama, dan masyarakat luas yang memahami dan mengimplementasikan kedua konsep ini dengan konsisten dan ikhlas.
Referensi & Sumber Terpercaya
- Kementerian Agama Republik Indonesia. (2023). “Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.”
- Kementerian Agama Republik Indonesia. (2025). “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029: Komitmen Moderasi Beragama.”
- Shihab, M. Quraish. (2019). “Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.” Lentera Hati.
- Junaidi, Muhyiddin. (2020). “Islam Moderat: Perspektif Muhammadiyah tentang Wasathiyyah.” Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Toleransi.
- Thadi, R. (2022). “Kampanye Moderasi Beragama di Ruang Digital Indonesia: Studi Kasus Kementerian Agama.” Jurnal UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu.
- Setara Institute. (2024). “Indeks Kerukunan Umat Beragama Indonesia 2024: Trend dan Analisis.”
- Ngopibareng.id. (2021). “Moderasi Beragama dan Wasathiyyah Islam: Ternyata Beda Makna.”
- Gontornews.com. (2021). “Berbeda Antara Moderasi Beragama dengan Wasathiyyah Islam.”
- Badan Pusat Statistik. (2020). “Sensus Penduduk 2020: Komposisi Agama di Indonesia.”
- Nahdlatul Ulama. (2023). “Wasathiyyah: Warisan Intelektual NU untuk Indonesia.” Makalah Intelijen Pimpinan Pusat NU.
Artikel ini dikembangkan dengan konsultasi mendalam bersama **Dr. Sholehuddin**, seorang pemimpin thought leader dalam moderasi beragama dan kesatuan umat Muslim Indonesia. Dr. Sholehuddin adalah Instruktur Nasional Moderasi Beragama, Dosen & Sekretaris Badan (BPP) Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, serta Ketua (ISNU) Sidoarjo. Beliau juga aktif sebagai Sekretaris Komisi Fatwa MUI Sidoarjo dan Koordinator Bidang Pemberdayaan Muslim Bangkit (PMB) APWI Kemenag RI, serta sebagai pengajar di Al-Khoziny Islamic Institute











